Jumat, 27 November 2009

HIKMAH IDUL ADHA

Idul Adha bisa kita maknai dari dua sisi. Yaitu dari sisi ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dan dari sisi pengalaman Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dalam Alquran, keduanya digelari uswatun hasanah (Nabi yang menjadi teladan dalam kebaikan). Difirmankan, ''Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.'' (QS Al Ahzab [33]: 21). Juga, ''Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.'' (QS Al Mumtahanah [60]: 6).

Hikmah dari Rasulullah SAW
Dilihat dari sisi ajaran Rasulullah SAW, Idul Adha erat kaitannya dengan diturunkannya ayat ketiga dari QS Al Maa'idah [5]. Difirmankan, ''Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.''
Ayat ini adalah ayat Alquran terakhir yang diterima Rasulullah SAW Ada yang menarik, ayat ini turun pada 9 Dzulhijjah tatkala beliau sedang wukuf di Arafah-saat menunaikan ibadah terakhir. Karena Allah SWT telah mengikrarkan kesempurnaan Islam, maka kita merayakan; mensyukuri; dan memperingatinya dengan hari raya Idul Adha. Dalam ayat ini Allah SAW "mengikrarkan" tiga hal, yaitu: (1) menyempurnakan bangunan agama Islam; (2) mencukupkan semua nikmat-Nya kepada Rasulullah SAW; dan (3) merelakan Islam sebagai dien (agama) terakhir dan terbaik.
Dalam bahasa Alquran, kata akmaltu berbeda dengan kata akmamtu. Satu kumpulan dari banyak hal yang sempurna dinamai "kusempurnakan". Dengan kata lain, semua unsur di dalamnya memiliki kesempurnaan. Tapi kalau akmamtu (Kucukupkan) bermakna kumpulan dari hal yang tidak sempurna. Ia baru sempurna bila semuanya berkumpul menjadi satu.

Kita perbandingkan dengan ajaran Islam. Allah SWT telah mensyariatkan banyak ibadah, misalnya shalat, zakat, haji, puasa, munakat, waris, jihad, dan lainnya. Semuanya telah sangat sempurna, aturan-aturannya telah dirancang dengan sangat jelas. Maka, kumpulan ajaran yang sempurna ini Allah SWT sebut dengan akhmaltu; "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu."
Lain halnya dengan nikmat? Sebesar apa pun nikmat dunia sangat jarang (bahkan tidak pernah) mencapai taraf sempurna. Saat kita dianugerahi sehat misalnya, maka kesehatan tersebut tidak pernah mencapai seratus persen, selalu saja ada yang kurang. Demikian pula nikmat harta. Sebesar apa pun harta yang kita miliki pasti akan selalu kurang. Andai pun kita dianugerahi kesehatan dan kekayaan, maka kekurangan akan tetap terasa bila kita tidak memiliki pasangan hidup, atau keturunan, atau persahabatan, atau rasa aman. Semua nikmat baru dikatakan sempurna apabila dipayungi agama.
Ikrar ketiga adalah diridhainya Islam sebagai agama. "Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama (dien) bagimu". Dien dimaknai sebagai agama. Menurut ulama tafsir, kata dien terambil dari akar yang sama dengan kata daina atau utang. Allah telah menganugerahkan nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Maka, secara tidak langsung kita berhutang budi kepada-Nya. Bagaimana sikap orang berhutang? Kalau mampu ia wajib membayar. Namun, kalau tidak mampu ia harus datang kepada yang memberi utang untuk meminta maaf atau menyerahkan sesuatu yang dimilikinya. Kalau tidak punya apa-apa, ia layak menyerahkan diri untuk "diapa-apakan" oleh yang memberi utang. Karena kemurahan-Nya, Allah rela kita tidak membayar utang-utang kita kepada-Nya, asal kita rela menyerahkan jiwa raga kita kepada-Nya.
Disempurnakannya ajaran Islam, dicukupkannya curahan nikmat, dan "dibebaskannya" kita dari utang, adalah anugerah terbesar yang Allah karuniakan kepada kita. Maka, tidak ada yang pantas kita lakukan selain mensyukurinya. Syukur dimaknai dengan menggunakan semua nikmat untuk mendekat kepada Allah. Dengan demikian, Idul Adha menjadi momentum tepat bagi kita untuk: (1) berusaha memahami makna syukur yang hakiki; (2) mengevaluasi kualitas syukur kita kepada Allah; dan (3) menjadikan setiap aktivitas kita sebagai cerminan rasa syukur kepada Allah. Idul Adha bisa pula dijadikan momentum untuk menumbuhkan kesadaran akan sempurnanya ajaran Islam. Ujung dari kesadaran ini adalah lahirnya kebanggaan menjadi seorang Muslim, rela diatur hukum Islam, dan berkorban demi kejayaan Islam.

Hikmah dari Nabi Ibrahim AS
Dilihat dari sisi Nabi Ibrahim, materinya sudah sangat jelas. Idul Adha (Idul Qurban) adalah refleksi pengalaman Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Pengalaman ayah dan anak terekam jelas dalam Alquran (QS Ash Shaaffaat [37]: 99-113). ''Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar''.'' (QS 37: 102). Karena kesabaran dan ketaatan keduanya, Allah SWT berkenan mengganti Ismail dengan seekor domba. Tradisi ini terus berlanjut hingga sekarang. Setiap tahun kita berkurban domba, sapi, atau unta, dan mengabadikannya menjadi hari raya Idul Adha (Idul Kurban).
Apa hikmahnya bagi kita? Pada masa Nabi Ibrahim hidup, sekitar 4300 tahun lalu, menjadikan manusia sebagai sesaji adalah hal biasa. Di Mesir kuno, setiap tahunnya selalu dilaksankan kontes kecantikan, dan yang terpilih akan ditenggelamkan di Sungai Nil sebagai persembahan kepada dewa. Di Mesopotamia (Irak) yang dijadikan sesaji adalah bayi. Di Aztek, yang dijadikan sesaji adalah para pemuka agama. Digantinya Ismail dengan seekor domba menandai lahirnya revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia, yaitu dihapuskannya pengorbanan manusia. Manusia itu terlalu mahal untuk dikorbankan. Hikmahnya, kita harus menghormati manusia, jangan mengorbankan manusia, bahagiakan manusia, dan bantu mereka yang membutuhkan bantuan.

Idul Adha adalah momentum menumbuhsuburkan rasa rasa kasih sayang di antara sesama. Idul Adha harus kita manfaatkan sebagai momentum menyambungkan tali silaturahmi, melatih kepekaan, empati, dan mengikis kebencian di hati. Inilah pesan indah yang dicanangkan dua manusia agung; Ibrahim Khalilullah dan Muhammad SAW.


Kesimpulan
Tentunya ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa agung tersebut, diantaranya adalah :
 untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran: “… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Haj, 22:36)
 Berkurban adalah mempersembahkan dan memberikan nikmat (yang kita senangi ) kepada orang lain ,dan sebaliknya kita tidak diperkenankan memberikan atau mempersembahkan nikmat (yang tidak kita senangi ) kepada orang lain.
 Ketika kita diberi nikmat oleh Allah SWT ,apakah berupa harta,jabatan ,dan kepentingan anak dan keluarga sekalipun,kalau telah datang perintah Allah untuk mempesembahkan nikmat itu menurut kehendak PemilikNya (yaitu Allah SWT ) maka tidak bisa ditawar –tawar lagi.Dia harus kita persembahkan sebagai tanda bakti dan setia kepada Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya.karena pada hakikatnya kita ini adalah milik Allah SWT dan segala sesuatu yang melekat pada diri kita harus kembali kepada Allah SWT untuk dimintai pertanggung jawaban.di hadapan allah .(Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun)Jadi hak milik kita semua hakikatnya adalah milik allah ,dan kita hanya mempunyai hak pakai,sehingga dalam memakai diri kita dan segala sesuatu yang melekat pada diri kita harus sesuai dengan kehendak Pemiliknya yakni Allah .
Semoga dengan mempringati hari idul adha atau idul kurban ini, hikmah yang ada didalamnya dapat terinternalisasikan dalam pribadi-pribadi kita semua. Menjadi insan yang selalu bertaqarrub kepadaNya, bersungguh-sungguh dalam meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT, Mengembangkan sikap saling rela berkorban baik harta, fikiran dan tenaga dan berjiwa sosial.

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...