Selasa, 29 Juni 2010

Pendidikan Islam untuk masa Depan
PENDIDIKAN ISLAM UNTUK MASA DEPAN
Oleh: Mulyawan S. Nugraha


Pendahuluan
Dalam al-Qur’ân ditegaskan bahwa Allah menciptakan manu¬sia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya seba¬gai pengabdiannya kepada-Nya. Aktivitas yang dimaksudkan oleh Allah tersimpul dalam ayat-ayat al-Qur’ân yang menegaskan bahwa manusia adalah khalifah Allah. Dalam statusnya sebagai khalifah ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia hidup di alam mendapat kuasa atau tugas dari Allah, yaitu memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan kon¬sep yang ditetapkan oleh Allah. Ayat-ayat tersebut di atas, jika dicermati, mengandung konsep makna pendidikan bagi manusia. Manusia sebagai khalifah Allah diberi beban yang sangat berat. Tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, jika manusia di¬bekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian luhur yang sesuai dengan kehendak Allah. Semua ini dapat dipenuhi hanya melalui proses pendidikan.

Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan yang terencana, terpola dan terarah untuk membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan juga merupakan suatu upaya yang bersifat eksistensial. Sifat eksistensial pendidikan bagi manusia merujuk pada suatu kenyataan, bahwa sekalipun manusia lahir sebagai manusia, namun untuk mengukuhkan eksistensinya agar hidup secara manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya, manusia harus menjalani proses pendidikan. Proses ini tidak hanya berhubungan dengan benda-benda fisik, tetapi juga dapat memberi makna bagi kehidupannya. Inilah yang menjadi kehendak mendasar dari pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat memberi dampak terhadap perubahan di segala bidang kehidupan termasuk di antaranya perubahan terhadap kebutuhan peningkatan sumberdaya manusia. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki daya saing tinggi mutlak diperlukan.

Pendidikan adalah salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan ekonomi, sosial budaya, serta bidang-bidang yang lain. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang handal, kreatif, dan produktif, yaitu manusia yang mampu menerima, mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi.

Syafaruddin menjelaskan bawah pendidikan sebagai subsistem nasional, dipengaruhi oleh subsistem yang lain, seperti ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang berkembang. Meskipun berbagai kebijakan untuk meningkatkan dan mengembangkan pendidikan telah ditempuh pemerintah dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, namun secara umum masih dapat dirasakan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan belum mencapai mutu atau kualitas yang kompetitif menghadapi masa depan. Hal ini akan berimplikasi pada kualitas pendidikan yang harus senantiasa ditingkatkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Perkembangan pendidikan dan hasil yang telah dicapainya, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan yang terjadi dalam sejarah manusia. Fritjof Capra melihat perkembangan paradigma sains yang telah mencapai puncaknya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghilangkan aspek moralitas dan spiritualitas dari alam dan manusia ini. Menurut Capra sudah saatnya Barat mengkaji ulang formasi pandangan dunia dan ilmu. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengevaluasi kembali sumbangan-sumbangan para perintis ilmu modern seperti Francis Bacon, Rene Descartes, dan Isaac Newton.

Ahmad Tafsir secara terang-terangan menyatakan bahwa jika sistem pendidikan Barat sekarang ini – seperti dijelaskan di atas-- sering disebut-sebut mengalami krisis yang akut, itu tak lain karena proses yang terjadi dalam pendidikan tak lain daripada sekedar pengajaran. Ia bahkan secara rinci menjelaskan bahwa peradaban barat dan sistem pendidikannya hancur dan gagal dalam memanusiakan manusia berawal dari dasar paradigma yang digunakan adalah Rasionalisme dan Materialisme.

Selain itu, pendidikan yang berlangsung dalam suatu schooling system tak lebih dari suatu proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka tekno-struktur yang ada. Akibatnya, pendidikan -katakanlah pengajaran- menjadi suatu komoditi belaka dengan berbagai implikasi¬ yang gagal pula terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pendidikan Islam sebagai salah satu subsistem dalam sistem pendidikan Nasional, memiliki peran yang strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Maksum mencatat bahwa dalam perkembangan tiga dekade terakhir, pendidikan Islam tampak memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pendidikan di Indonesia. Ditambahkan oleh Muhaimin, bahwa pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang didirikan, diselenggarakan atas dasar hasrat, niat dan motivasi untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam melalui kegiatan pendidikan tersebut.

Aktivitas pendidikan Islam ada sejak adanya manusia itu sendiri (Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat al-Qur’ân yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bukan perintah tentang shalat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra' (membaca, merenungkan, menelaah, meneliti atau mengkaji) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Menurut Muhaimin, dari sinilah manusia memikirkan, menelaah dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah pemikiran dan teori-teori pendidikan Islam. Karena itu, menurut Abd al-Gani 'Ubud, seperti yang dikutip Muhaimin menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan pendidikan Is¬lam dan sistem pengajaran Islam, tanpa adanya teori-teori atau pemikiran pendidikan Islam. Pandangan tersebut diperkuat oleh Hasan Langgulung dan Ahmad Tafsir.

Pendidikan yang dimiliki oleh umat islam sekarang ini memang harus disempurnakan agar dapat mengantarkan lulusan hidup wajar pada masa depan. Mengapa pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan? Karena hasil suatu pendidikan tidak dapat dinikmati masa kini melainkan pada masa depan, dekat atau jauh. Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di kalangan muslim, agaknya harus diperbarui, diberi darah baru yang segar agar ia sehat dan mampu mengantarkan lulusan menghadapi masa depan.

Bagaimana menyiapkan program pendidikan agar sesuai dengan masa depan? Untuk itu kita harus mengenali lebih dahulu kecenderungan dan karakteristik masa depan itu. Masa depan itu kita sebut Abad 21.

Kecenderungan – kecenderungan Menjelang Abad ke-21

Untuk dapat merumuskan paradigma baru perencanaan pendidikan, juga pendidikan Islam, pada Abad ke 21, kita sebaiknya mengenali kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi pada abad itu.

Pertama, kita akan memasuki pasar bebas. Ini berarti akan terjadi suatu interaksi antar negara di dalam investasi, bisnis barang maupun jasa. Masyarakat Indonesia akan membuka diri bagi interaksi dengan bangsa-bangsa lain. Interaksi itu menuntut bangsa Indonesia mampu bersaing. Untuk itu diperlukan peningkatan kemandirian, kerja keras serta etos kerja yang tinggi dan sifat tahan uji bahkan tahan bantingan. Mengharapkan proteksi, dari mana pun, akan sia-sia. Pasar bebas itu tidak hanya akan mempengaruhi aspek ekonomi tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung.

Kedua, penerapan otonomi daerah. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menghasilkan antara lain peningkatan kemampuan bangsa Indonesia. Tingkat pendidikan semakin tinggi, rasa percaya diri juga semakin tinggi. Hal itu akan menimbulkan keinginan untuk menuntut otonomi semakin luas. Sementara itu tuntutan otonomi itu tidak akan melemahkan rasa kebangsaan, maupun persatuan, tuntutan itu justru semakin relevan. Akibatnya, pendidikan juga akan semakin beralih dari sentralisasi ke desentralisasi. Dalam bidang pemerintahan, otonomi daerah telah diundangkan. Dalam bidang pendidikan, hal ini ditandai dengan lahirnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Ketiga, kecenderungan masyarakat kita akan semakin menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani (civil society) ialan masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab. Inilah masyarakat yang berkembang dari rakyat untuk rakyat sendiri.
Masyarakat madani seperti itu adalah masyarakat yang memiliki disiplin tinggi, masyarakat berdisiplin tinggi juga merupakan ciri masyarakat industri. Masyarakat industri adalah masyarakat serba teratur, masyarakat yang cerdas, yang well informed (hidup dalam masyarakat informasi). Dengan demikian masyarakat madani itu adalah masyarakat yang menguasai sumber-sumber informasi baik politik, hukum, teknologi, seni maupun agama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya. Karena mengetahui hak dan kewajibannya maka penduduk masyarakat madani itu adalah penduduk yang hidup dalam demokrasi.

Keempat, pada masa datang itu peran swasta akan semakin besar. Ini sehubungan dengan semakin cerdasnya penduduk dan semakin tingginya kesadaran akan tanggung jawab. Semakin tingginya rasa percaya diri pada masyarakat juga akan menyebabkan peran swasta semakin besar. Itu bukan berarti peran pemerintah akan hilang. Pemerintah masih berperan terutama dalam mengarahkan masyarakat besar Indonesia. Ini juga merupakan wujud masyarakat madani.

Kelima, akan terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat karena terjadi perubahan dengan cepat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Toffler mengatakan bahwa perubahan itu akan menimbulkan goncangan Nurcholis Madjid menyatakan bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan deprivasi relatif, dislokasi, disorientasi dan negativisme.

Deprivasi relatif yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggalkan dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Dislokasi maksudnya ialah perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang nyata dislokasi itu dapat dilihat pada krisis – krisis yang dialami kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar akibat urbanisasi. Disorientasi ialah perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat dari apa yang ada selama ini tidak dapat lagi dipertahankan karena terasa tidak cocok dan kehilangan identitas. Sedangkan yang dimaksud dengan negativisme ialah perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan yang mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan dan sebagainya.

Jika gejala-gejala yang disebabkan oleh perubahan mendadak itu tidak diantisipasi dengan baik maka ia akan menjadi lahan subur bagi gejala-gejala radikalisme, fanatisme, sektarisme, fundamentalisme, sekularisme dan lain-lain yang serba negatif.

Karakteristik Abad ke-21
Lima kecenderungan itu telah memberikan cukup banyak pertimbangan kepada kita dalam membuat perencanaan pendidikan kita memasuki abad ke-21. Agar perencanaan pendidikan dapat dilakukan lebih mudah atau lebih operasional dan relevan, berikut ini digambarkan sebagian dari karakteristik abad ke-21. H.A.R. Tilaar melihat empat karakteristik .

Pertama, masyarakat abad ke-21 itu adalah masyarakat tanpa batas (borderless world). Ini berarti komunikasi antar manusia, antar negara, begitu mudah, cepat dan intensif, sehingga batas-batas ruang seolah-olah hilang. Ini diakibatkan juga oleh hilangnya sekat-sekat hubungan antar daerah, antar bangsa, karena adanya perdagangan bebas yang menuntut adanya kerjasama lebih cepat dan lebih intensif. Organisasi perdagangan dunia (WTO - world trade organization) telah diciptakan, tata perdagangan dunia baru telah lahir. Kiranya tidak ada dunia yang dapat menghindari perdagangan global ini.

Kedua, sejalan dengan dunia tanpa batas itu, akan muncul pula masyarakat dengan kegiatan ilmu yang tinggi. Penggunaan ilmu akan melebihi masa sekarang. Karenanya, maka penelitian akan meningkat, kerjasama antar lembaga diduga juga akan meningkat. Hasilnya nanti ialah temuan-temuan baru dalam bidang keilmuan. Temuan baru itu tentu akan menghasilkan ilmu yang semakin berkembang, sejalan dengan itu industri akan tumbuh dan berkembang, demikian juga perdagangan. Dengan sendirinya perdagangan global akan semakin marak, taraf hidup bangsa-bangsa akan meningkat.

Lahirnya dunia baru yang ditopang oleh ilmu dan teknologi yang maju akan lebih menyatukan umat manusia. Zaman global akan semakin menggelobal.

Ketiga, sejalan dengan kesadaran kesatuan dunia tersebut akan timbul kesadaran akan hak dan kewajiban asasi manusia. Warga masyarakat tidak hanya sadar akan hak dan kewajibannya dalam negaranya, hak dan kewajiban itu juga akan mendunia. Jika sekarang masih ada negara yang mengatakan “ ini urusan dalam negeri kami orang luar tidak boleh campur tangan” sedangkan itu menyangkut hak asasi manusia, nanti ucapan seperti itu akan ditertawakan. Itu adalah negara picik yang belum siap memasuki zaman global. Wright or wrong is my country adalah masa lalu, masa sekarang right or wrong is my world.

Keempat, perdagangan bebas dalam negara dunia itu akan melahirkan masyarakat kompetisi bahkan mega kompetisi, kompetisi dalam segala hal dan habis-habisan. Gelombang globalisasi telah melahirkan kesadaran bahwa dunia itu terbuka, dunia itu luas, dunia ini adalah dunia saya. Ini dalam segala aspek kehidupan, baik perdagangan, politik, sosial, budaya, hak asasi, pendidikan, dan juga agama. Menggelobalkan aspek-aspek itulah yang melahirkan kesadaran global, yaitu suatu kesadaran bahwa dirinya telah hidup di suatu zaman yang disebut zaman global.

Kesadaran global itu tidak harus berarti menghilangkan individu manusia sehingga lumat dalam kebersamaannya dan ia hanya partikel-partikel tidak berarti, tetapi justru menuntut adanya sumbangan individu dalam ikut membina masyarakat baru yang lebih baik tetapi global, yaitu masyarakat bersama. Masyarakat baru yang lebih baik itu adalah hasil dari suatu prestasi dan kreativitas manusia dari suatu kompetisi. Itu berarti masyarakat mega kompetisi itu menuntut manusia-manusia terbaik, intelektual, dan moral.

Karakteristik abad ke-21 yang disebut di atas itu masih dapat ditambahi dengan hal-hal berikut :

Kelima, pada masa itu Rasionalisme diperkirakan akan semakin kuat pengaruhnya. Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran. Tanda-tanda itu telah tampak sekarang ini. Seringkali kita mendengar anak remaja mengatakan “jika logis oke, bila tidak logis nanti dulu”. Pernyataan ini mungkin saja diucapkan sambil main-main, mungkin juga diucapkan tanpa disadari apa maksudnya, tetapi bukan mustahil hal itu diucapkan dengan sungguh-sungguh. Sekurang-kurangnya ucapan itu dapat dijadikan indikasi kecil bahwa paham Rasionalisme itu telah mulai masuk ke kepribadian remaja itu.

Bila paham itu telah masuk ke kepribadian remaja kita, maka hal itu sungguh tidak akan mengagetkan kita, sebab memang sejak di Sekolah Dasar mereka itu telah dididik berpikir dan bertindak secara rasional. Pendidikan merekalah yang mendidik mereka menjadi seperti itu. Ini akan menjadi tantangan bagi guru agama yang mendapati agama (Islam misalnya) dalam banyak hal tidak dapat dipahami secara rasional oleh orang awam.

Keenam, pada zaman global itu sikap materialistik akan semakin menggejala. Materialisme ialah paham dalam filsafat Metafisika yang mengatakan bahwa yang hakikat di dunia ini hanyalah materi, jiwa atau ruh itu ada. Paham ini menolak adanya Tuhan, kehidupan sesudah mati dan semua yang gaib. Tetapi materialisme yang dimaksud di sini bukan hanya itu. Materialisme, jelasnya Materialistik, yang dimaksud disini ialah sikap seseorang yang senang mengumpulkan materi. Sikap ini akan tertanam dari pengalaman kontak dengan dunia global tadi, juga tertanam karena adanya persaingan yang hebat. Rasionalisme yang disebut di atas tadi akan menyebabkan seseorang semakin menjauh dari agama juga akan menjadi penyebab berkembangnya sikap materialistik.

Sikap rasionalis dan materialis ini terutama akan berhadapan dengan pendidikan agama, tegasnya, ia merupakan tantangan yang khususnya dihadapkan pada pendidikan agama. Padahal kita masa depan kita harus mengetahui lebih dahulu dengan tepat pula hal-hal penting tentang pendidikan kita dewasa ini.

Keadaan Pendidikan Kita Dewasa Ini

Menurut Tilaar, ada tiga hal yang menonjol dalam pendidikan kita sekarang ini. Pertama, sikap yang kaku, kedua, praktek korupsi, dan ketiga, tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Saya dapat menambahkan bahwa sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan, selain itu dapat ditambahkan beberapa hal lain.

Pertama, kita melihat sistem pendidikan kita masih kaku. Suatu sistem yang terperangkap dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-ciri yang dapat dilihat dengan mudah yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.

Sesuai dengan asas sentralisme, maka penyelenggaraan pendidikan kita cenderung menuruti garis petunjuk dari atas. Segala sesuatu telah ditetapkan di dalam petunjuk teknis, tidak ada lagi tempat bagi pemikir yang kreatif. Organisasi pendidikan diatur begitu rupa sehingga tidak mungkin muncul terobosan dari organisasi yang dinamis karena segala sesuatunya telah ditentukan dari atas dengan alasan kesatuan persepsi, kesatuan arah, kesatuan wadah, kesatuan tekad, pokoknya keseragaman, semua harus seragam dan itu berarti sama dengan apa yang ditentukan dari atas. Ini tentu saja akan menurunkan kesatuan tujuan, kesatuan sistem,dan sebagainya. Pokoknya semuanya harus sama, seirama, senada. Cobalah lihat bagaimana akibat kebijakan yang mengatur kegiatan mahasiswa di perguruan tinggi, dilarangnya praktik politik praktis di perguruan tinggi, kegiatan dewan mahasiswa yang selanjutnya diubah menjadi senat mahasiswa dengan berbagai pengaturan oleh rektor yang terkenal dengan istilah normalisasi kehidupan kampus (NKK). Ini dilambangkan kekakuan sistem pendidikan.

Akhir-akhir ini muncul sedikit kebebasan. Misalnya adanya kurikulum lokal di perguruan tinggi. Kurikulum lokal memang disediakan untuk dimuati dengan muatan hasil kreativitas perguruan tinggi setempat. Tetapi hal ini baru-baru ini saja terjadi dan cenderung belum memperlihatkan hasil-hasil berarti.

Sistem yang kaku itu mudah sekali dimasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Karena itu sistem pendidikan dapat saja dimasuki oleh praktik-praktik sektarisme yang membahayakan bagi kesatuan nasional dan keutuhan bangsa. Menurut Achmad Sanusi, kurikulum seperti ini akan membentuk sikap ketergantungan guru dan murid pada informasi yang telah disediakan tidak ada peluang untuk mempertanyakan, memodifikasi dan menguji nilai-nilai aplikatif, kemungkinan memperoleh nilai tambah sangat kecil.

Kedua, sistem pendidikan nasional kita telah diracuni oleh praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk ? Karena sistem kita tertutup. Manipulasi dana masyarakat banyak terjadi baik untuk kepentingan organisasi politik atau kelompok ataupun kepentingan pribadi.

Praktek korupsi itu menjadi kanker yang dapat memerosotkan mutu pendidikan, tidak menghasilkan pencerdasan bangsa melainkan memperbodoh bangsa.
Ketiga, sistem pendidikan kita tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti dengan praktek-praktek yang memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas baik. Rakyat tidak diberdayakan melainkan diperas. Mutu lulusan rendah. Selain tiga hal pokok di atas dapat ditambahkan hal-hal sebagai berikut.

Keempat, sistem pendidikan kita belum mengantisipasi abad ke-21. Memang sering dibicarakan, bahkan oleh Menteri bahwa pendidikan kita harus menyiapkan lulusan yang mampu hidup pada masa depan. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Penggantian kurikulum hanyalah bersifat tambal sulam. Watak masa depan memang sering diungkapkan, tetapi tidak diantisipasi secara memadai dalam kurikulum. Memang akhir-akhir ini ada kurikulum lokal, tetapi belum juga ada kurikulum global. Sebenarnya kita lebih memerlukan kurikulum global ketimbang kurikulum lokal.

Masa depan itu penuh tantangan moral, penggoda yang merusak akhlak semakin banyak dan semakin intensif. Tetapi belum ada antisipasi dalam kurikulum untuk menghadapi gejala itu. Sampai akhirnya terjadi krisis nasional yang pada dasarnya disebabkan oleh krisis akhlak.

Krisis akhlak itu berakar pada menurunnya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sistem pendidikan kita belum juga mengantisipasi hal itu. Pendidikan kita belum juga menyediakan kurikulum yang dikirakan mampu mempertebal keimanan siswa. Teriakan bahwa akhlak remaja merosot memang sering dilontarkan oleh para pejabat, tetapi antisipasinya di bidang pendidikan belum ada. Pendidikan keimanan semestinya menjadi inti sistem pendidikan, bila tidak maka kemerosotan akhlak akan terjadi lagi dan krisis nasional akan terulang. Akankah kita terperosok dua kali pada batu yang sama?

Pendidikan kita belum mengantisipasi zaman global yang merupakan zaman mega kompetisi. Mampukah lulusan kita berkompetisi secara sehat di abad ke-21? Tidak, karena lulusan kita tidak diprogram mampu menguasai bahasa Inggeris aktif. Bila ada satu dua lulusan yang menguasai bahasa Inggeris aktif, itu adalah berkat usahanya di luar sekolah, dari kursus misalnya, bukan hasil yang diperoleh dari perlakuan kurikulum. Sementara itu peraturan yang kaku itu, yang mengatakan bahwa bahasa pengantar di sekolah harus bahasa Indonesia, masih juga dipertahankan mati-matian. Apakah betul bila bahasa pengantar bahasa Inggeris digunakan di perguruan tinggi -misalnya- akan menghasilkan lulusan yang kurang cinta pada tanah air?

Zaman global yang penuh kompetisi itu memerlukan lulusan yang mandiri. Untuk menghasilkan lulusan seperti itu diperlukan pendidikan kemandirian. Pada tahun sekitar tahun 1997-an, Guru Besar UIN Bandung (dulu IAIN Bandung), Ahmad Tafsir, pernah menelorkan gagasan mengenai perlunya reorintasi terhadap Filsafat pendidikan yang kita anut , yaitu tut wuri handayani. Ia mengemukan beberapa pertanyaan mendasar: mampukah filsafat ini membawa lulusan mampu berkompetisi? Mengapa bukan filsafat pendidikan yang mengkopetisikan siswa? Menurutnya, Tut wuri handayani itu akan menghasilkan lulusan yang selalu menoleh ke belakang, ke pendidik yang nge-tut-kannya. Lulusan itu akan kurang mandiri, kurang harga diri. Bagaimana akan sanggup berkompetisi? Agar pendidikan mampu mengantisipasi zaman global filsafat pendidikan itu harus diganti dengan filsafat pendidikan yang mampu memandirikan lulusan, menanamkan percaya diri, mampu dan berani membuat putusan sendiri, tidak menunggu restu, tidak sering menoleh ke belakang. Gagasan ini pernah menjai polemik di media masa (Koran Pikiran Rakyat) saat itu.

Kelima, biaya pendidikan kita terlalu kecil. Masih untung, karena swadaya masyarakat cukup tinggi. Cukup besar usaha pendidikan yang dilakukan oleh swasta dan pemerintah hanya membantu ala kadarnya.

Keenam, pendidikan kita masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak sanggup korupsi. Berikut adalah gambaran posisi Indonesia pada tahun 1997 dalam hal korupsi. Artinya data ini diambil Sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat ini ? (sekarang Agustus 2007).

Indeks Korupsi beberapa Negara 1997

Ranking Negara Kategori
1. Nigeria
2. Indonesia,
3. Rusia,
4. Argentina,
5. Cina
6. Filipina,
7. Thailand, Brasil
8. Korea Selatan,
9. Malaysia
10. Taiwan
11. Cili,
12. Jepang
13. Hongkong,
14. Amerika Serikat
15. Singapura

Tabel di atas menjelaskan bahwa Indonesia, saat itu, menempati ranking tertinggi kedua setelah Nigeria dalam hal korupsi. Orang-orang yang melakukan korupsi itu adalah lulusan lembaga pendidikan, kesimpulannya lembaga pendidikan kita masih mampu menghasilkan lulusan yang sanggup korupsi. Ini tentu merupakan tantangan yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan masa depan.

Ketujuh, daya saing lulusan kita memang belum tinggi. Daya saing yang rendah ini seharusnya dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan yang berwawasan masa depan.

Karakteristik Lulusan yang Diharapkan
Pendidikan untuk masa depan haruslah menghasilkan lulusan yang mampu bersaing secara baik. Untuk itu pendidikan harus menyiapkan manusia yang unggul, yang cirinya sekurang-kurangnya sebagai berikut.
Pertama, haruslah berdedikasi dan berdisiplin tinggi. Manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Dia harus sadar arah, harus mempunyai visi jauh ke depan. Ia harus mempunyai visi normatif idealis yang terjabarkan dalam visi strategik yaitu berupa target-target dan terikat di dalam waktu tertentu yang perlu diwujudkan. Orang berdedikasi tinggi itu haruslah berdisiplin tinggi karena ia terfokus pada apa yang ia inginkan untuk diwujudkan.

Kedua, manusia unggul itu harus jujur. Ini sangat penting, bukan saja terhadap orang lain tetapi juga terhadap diri sendiri. Dalam zaman kompetisi itu orang yang tidak jujur akan kalah, karena dalam kompetisi itu ia harus bekerjasama (dalam suatu networking) dengan orang lain, bila ia tidak jujur maka tidak ada orang lain yang bersedia bekerjasama dengan dia.

Kita juga harus jujur terhadap diri sendiri pada zaman itu. Bila kita kurang mampu melaksanakan sesuatu tugas kita harus mengakuinya. Inilah sikap profesionalisme. Masyarakat abad ke-21 adalah masyarakat professional. Kejujuran professional akan menghasilkan produk unggul dan terus menerus sanggup bersaing.

Ketiga, manusia unggul haruslah inovatif ia tidak puas dengan apa yang telah dihasilkannya, tidak puas dengan status quo. Manusia unggul selalu gelisah untuk mendapatkan yang baru. Dengan itu ia selalu menang dalam kompetisi.

Keempat, karena itu manusia unggul itu harus tekun. Ia dapat memfokuskan perhatiannya pada tugas yang sedang dihadapi. Ketekunan akan menghasilkan sesuatu, manusia unggul tidak akan berhenti sebelum menghasilkan sesuatu.

Kelima, sejalan dengan itu manusia unggul haruslah ulet. Artinya, tidak mudah putus asa. Ia terus menerus mencari dan mencari. Dibantu sikap tekun manusia ulet akan sampai pada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya dalam mencari yang lebih baik.

Keenam, manusia unggul itu harus juga mampu mengendalikan dirinya. Penelitian menunjukkan bahwa rahasia sukses seseorang ditentukan terutama oleh kecerdasannya (IQ) dan oleh kemampuannya dalam mengendalikan diri (EQ). (Goleman, 1997:Shapiro, 1997). Kecerdasan tidak dapat ditingkat. Adapun kemampuan mengendalikan diri (EQ), dapat ditingkatkan antara lain melalui pendidikan agama. Dari sini kita tahu bahwa pendidikan agama itu amat penting dipertimbangkan dalam merencanakan pendidikan untuk memasuki abad ke-21.

Lebih dari itu, eksis atau lenyapnya suatu negara atau kelompok masyarakat ditentukan terutama oleh akhlak bangsa tersebut terutama akhlak para pemimpin. Krisis yang menimpa negara kita seja Juli 1997 (atau mungkin sampai saat “sekarang”) disebabkan terutama oleh buruknya akhlak sebagian para pemimpn.



Model Sekolah untuk menghadapi Abad ke 21

Pendidikan Barat telah umum kita kenal dan kita pelajari. Pendidikan Barat itu dasarnya ialah filsafat atau paham Rasionalisme. Pendidikan yang berdasarkan Rasionalisme itu menekankan tiga hal pokok dalam tujuannya. Pertama tujuan keilmuan artinya setiap orang memasuki sesuatu sekolah ia harus memperoleh pengetahuan ilmu atau sains. Kedua tujuan keterampilan kerja, artinya, setiap lulusan sekolah harus mampu bekerja atau mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang pada akhirnya untuk bekerja juga. Ketiga tujuan kesehatan dan kekuatan fisik, artinya setiap lulusan harus mengetahui cara sehat dan cara menjadi orang kuat.

Jadi, sebenarnya kurikulum pendidikan Barat itu terdiri dari tiga materi pokok yaitu materi kegiatan untuk tujuan penguasaan ilmu (sains), materi kegiatan untuk tujuan penguasaan kemampuan kerja, dan materi kegiatan untuk tujuan sehat serta kuat.

Filosofi pendidikan seperti itu tidak persis sama dengan filosofi pendidikan dalam Islam. Dalam Islam tujuan pertama dan utama pendidikan sekolah (juga pendidikan luar sekolah) adalah pembentukan kepribadian muslim. Al-Abrasyi misalnya, menjelaskan bahwa kurikulum sekolah harus mendahulukan pembentukan rohani atau hati. Ini berarti pelajaran ketuhanan atau akidah harus diberikan. (lihat Al-Abrasyi, 1974:173-186). Ini pertama dan utama. Selanjutnya dijelaskan bahwa al-Farabi, sang filosof, telah menempatkan ilmu ketuhanan sebagai pengetahuan tertinggi, pengetahuan lainnya hanyalah penyerta pengetahuan tertinggi tersebut.

Al-Qurthubi menyatakan bahwa ahli-ahli agama Islam membagi pengetahuan menjadi tiga tingkatan yaitu pengetahuan tinggi, pengetahuan menengah, dan pengetahuan rendah. Pengetahuan tinggi ialah ilmu ketuhanan, menengah ialah pengetahuan mengenai dunia seperti kedokteran dan matematika, sedangkan pengetahuan rendah ialah pengetahuan praktis seperti bermacam-macam keterampilan kerja.

Menurut pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendiri-sendi kehidupan bersama bahkan dapat menghancurkan negara bahkan dunia. Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak.

Ahmad Tafsir dalam sebuah seminar pendidikan di Bandung, pernah berpendapat bahwa berdasarkan pemikiran yang berperspektif Islam tersebut pendidikan sekolah untuk masa depan haruslah memiliki kurikulum utama yang terdiri atas:
1. Pendidikan agama, agar lulusan beriman kuat, dari iman inilah akan tertanam akhlak mulia, pendidikan keimanan Islam akan memberikan kemampuan kepada lulusan untuk mampu hidup di zaman global yang penuh tantangan dan kompetisi yang ketat, lulusan harus mampu mengatasi tantangan dan menjadi competitors sukses;
2. Pendidikan bahasa Inggeris aktif, agar ia mampu berkomunikasi dan bekerjasama di tingkat dunia pada zaman global itu;
3. Pendidikan keilmuan, agar lulusan mampu meneruskan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, di tingkat perguruan tinggi harus sampai ke tingkat ahli yaitu ia mampu mengembangkan ilmu atau mampu mengerjakan sesuatu keahlian tingkat tinggi;
4. Pendidikan keterampilan kerja sekurang-kurangnya satu macam, agar lulusan dapat mencari kehidupan bila tidak bekerja pada sektor formal sesuai keahliannya.

Berdasarkan itu agaknya perlu dipertimbangkan model-model kurikulum sekolah berikut yang pada dasarnya ditujukan ke dua arah; kemampuan kerja dan keilmuan;

(1) Tujuan untuk kemampuan kerja, model kurikulumnya sebagai berikut :
1. Agama
2. Bahasa Inggeris
3. Salah satu bidang keterampilan
(2) Tujuan untuk keilmuan, model kurikulumnya sebagai berikut :
1. Agama
2. Bahasa Inggeris
3. Bidang ilmu tertentu
(3) Tujuan untuk keilmuan dan kemampuan kerja
1. Agama
2. Bahasa Inggris
3. Bidang ilmu tertentu
4. Salah satu bidang keterampilan

Penutup
Demikian uraian makalah ini saya sampaikan. Banyak kekurangan yang perlu mendapat masukan. Mudah-mudahan pendidikan menjadi kesadaran bangsa ini untuk dikedepankan menjadi bagian penting, strategis dan diutamakan dalam upaya melahirkan generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia. Amin.

Billahit Taufiq wal Hidayah.


Ciaul, 2 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...