Selasa, 29 Juni 2010

Rekonstruksi Ideologi Cak Nur di HMI

Oleh: Andito


HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.
Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).
Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Pembalseman Cak Nur
Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.
Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.
Bias Figur dalam Kerja Kolektif
Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.

Tidak ada komentar:

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...