Jumat, 20 Januari 2012

MEMBENAHI MANAJEMEN MADRASAH


Mulyawan S. Nugraha

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya.
Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Problem Madrasah
Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Menurut Darmu’in (1998) problema-problema tersebut di antaranya: Pertama, Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
Kedua, Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.
Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, menurut Tobroni (2010) madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Manajemen Madrasah: Agenda Prioritas
Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajemen pengelolaannya, khususnya di lembaga swasta. Di lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping.
Praktik manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
Konsep manajemen untuk mengatur pengelolaan madrasah sebenarnya telah ada. Tidak asing kiranya ketika orang menyebut istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), MBM (manajemen Berbasis Madrasah Konsepnya sudah bagus, bahkan telah teruji di berbagai negara.). Namun mengapa semuanya sepertinya biasa-biasa saja? Ini yang harus direnungkan bersama, bahwa keseriusan mengelola madrasah, bukan semata persoalan “berani” mendirikan madrasah, tapi lebih dari itu serius me-“manage”-nya sehingga menjadi bermutu dan pilihan ummat.
Penutup
Surya Dharma Ali (2010) selaku Menteri Agama RI mengatakan bahwa keberadaan madrasah di tengah-tengah masyarakat tidak hanya dituntut memenuhi standar pendidikan saja, namun juga harus mampu membangun instalasi keumatan berdasarkan etika keislaman dan tata kelola yang sehat agar dapat survive dan mampu membangun karakter professional, sistematis dan kontinyu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, salah satu persoalan mendasar dalam pengelolaan pendidikan di lingkungan madrasah adalah harapan masyarakat yang begitu menggebu terhadap lulusan yang berkualitas dan budaya saing tinggi yang ternyata belum maksimal.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (2011) menegaskan, peran madrasah dalam pembangunan, khususnya bidang pendidikan, sangat strategis. Keberadaannya di pelosok-pelosok pemukiman memungkinkan warga menyekolahkan anaknya guna mendapatkan pendidikan. Selain pendidikan formal, madrasah pun memberi bekal pengetahuan agama yang membentuk watak beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu, keberadaannya di tengah masyarakat sangat dibutuhkan guna mendukung akselerasi peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Untuk itu, Kesadaran dan komitmen pengelola madrasah untuk senantiasa meningkatkan mutu pendidikannya menjadi bagian integral dari upaya membenahi manajemen madrasah. Seringnya pelaksanaan training, workshop, bintek dan lain-lain berkaitan dengan peningkatan mutu madrasah harus dijadikan kesempatan untuk lebih berbenah menjadi lebih baik.
Mari jadikan madrasah sebagai pilihan pertama dan utama ummat.
Semoga.

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...