Oleh: *Mulyawan Safwandy Nugraha*
Praktisi pendidikan, pegiat literasi, Pendidik, Peneliti dan Pengabdi yang saat ini menjadi Dosen UIN SGD Bandung, Institut KH Ahmad Sanusi Sukabumi, STAI Al-Masthuriyah Sukabumi dan STAI Kharisma Sukabumi.
Dalam Al-Qur’an, wahyu pertama yang turun bukan perintah salat, bukan zakat, bukan pula membangun lembaga atau negara. Yang pertama justru satu kata sederhana namun revolusioner: “Iqra", artinya bacalah.
Maksud lebih luas: Bacalah dunia, bacalah dirimu, bacalah realitas. Kata ini tidak hanya menandai lahirnya agama Islam secara tekstual, tetapi juga menandai arah dasar peradaban Islam: bahwa agama ini dibangun di atas kesadaran, pemahaman, dan perubahan. Maka, kalau kita bicara tentang kepemimpinan dalam lembaga pendidikan Islam, pertanyaan dasarnya bukan lagi sekadar “siapa yang memimpin?” tapi “apakah kepemimpinan itu mencerdaskan?”
*Iqra’ Sebagai Ruh Kepemimpinan Pendidikan*
Kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang membebaskan. Ia tidak mengandalkan otoritas struktural, tapi kekuatan inspirasi. Pemimpin transformasional tidak sekadar menyuruh dan memerintah, tapi menyulut kesadaran pada mereka yang ia pimpin.
Dan bukankah ini juga yang dilakukan Rasulullah SAW? Beliau memimpin bukan dengan kekerasan, bukan dengan teriakan. Beliau hadir dengan akhlak, dengan pembacaan realitas sosial yang dalam, dan dengan harapan. Inilah yang membedakan antara pemimpin administratif dan pemimpin visioner.
Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, sering menekankan bahwa kesadaran keagamaan harus ditopang oleh kesadaran rasional dan moral
|“Kesadaran keagamaan itu seyogianya berdiri di atas landasan rasional dan moral. Tanpa itu, agama bisa menjelma menjadi kekuatan gelap.”|
(Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan)
Maka pemimpin pendidikan Islam hari ini harus mampu menanamkan spirit Iqra’ bukan hanya pada siswa, tapi pertama-tama pada dirinya sendiri dan seluruh jajarannya.
*Cak Nur dan Misi Kemanusiaan Pendidikan*
Cak Nur tidak menulis banyak tentang manajemen pendidikan dalam makna teknis, tapi pemikirannya sangat kaya untuk dibaca sebagai inspirasi perubahan struktural dan kultural dalam lembaga pendidikan. Ia menolak bentuk-bentuk keberagamaan yang hanya simbolik. Bagi Cak Nur, agama harus menjadi jalan untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya.
Kalau kita mengelola sekolah Islam hanya sebagai tempat mengajar hafalan, tanpa membuka ruang dialog, berpikir kritis, dan tumbuhnya karakter, maka sejatinya kita sedang mengkhianati semangat wahyu pertama itu.
| “Islam adalah agama kemanusiaan, bukan hanya dalam arti sebagai sistem nilai untuk manusia, tetapi karena Islam memang ditujukan untuk pembebasan dan pemanusiaan.”|
(Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina)
Dalam konteks pendidikan, membebaskan berarti mengantar siswa dan guru dari ketakutan menuju keberanian berpikir; dari ketergantungan menuju kemandirian; dari dogma menuju pemahaman.
*Membaca Zaman, Menjawab Tantangan*
Kepemimpinan transformatif lahir dari kemampuan membaca konteks. Dalam istilah Cak Nur, kita harus “beragama secara rasional dan historis.”
(Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina)
Artinya, nilai-nilai Islam harus dihadirkan secara kontekstual, menjawab tantangan zaman, bukan membungkus diri dalam nostalgia romantik masa lalu.
Mari kita jujur: banyak lembaga pendidikan Islam hari ini lebih sibuk pada tampilan luar. Seragam panjang, jargon religius, parade hafalan. Tapi tak ada ruang bertanya, tak ada ruang ragu, apalagi ruang berdialog. Semuanya digerakkan oleh ketakutan akan kehilangan identitas.
Padahal, Cak Nur justru percaya bahwa iman yang kokoh tumbuh dari proses berpikir, bukan dari penggiringan paksa.
| “Agama, bagi saya, adalah keikhlasan total—bukan ketakutan.”|
(Madjid, Nurcholish. 1997. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina)
Maka pemimpin di lembaga pendidikan Islam harus hadir sebagai pembaca zaman. Ia harus tahu bahwa generasi hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi dua dekade lalu. Cara mereka belajar, bertanya, memprotes, dan mencari makna, jauh berbeda.
*Tiga Pilar Kepemimpinan ala Spirit Iqra’*
1. Keberanian untuk Berubah
Pemimpin transformatif tidak takut meninjau ulang kurikulum, membuka diskusi, atau menghapus praktik-praktik yang kaku dan mengekang.
2. Kemampuan Mendengar dan Belajar
Dalam surah Az-Zumar [39:18], Allah berfirman:
“Sampaikan kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.”
Mendengar adalah seni kepemimpinan yang jarang diajarkan.
3. Keteladanan dalam Berpikir
Pemimpin sekolah yang membaca, merenung, dan menulis akan lebih mudah menghidupkan budaya belajar. Ia tidak perlu memerintah—cukup memberi teladan.
*Menutup Sekat Antara Ilmu dan Iman*
Salah satu warisan penting dari Cak Nur adalah gagasannya tentang integrasi ilmu dan iman. Ia menolak dikotomi ilmu dunia dan ilmu agama.
|“Seluruh ilmu, bila diarahkan pada kemaslahatan dan kebajikan, adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan.”|
(Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan)
Kepala di lembaga pendidikan Islam yang terinspirasi semangat ini tidak akan menempatkan guru matematika sebagai pelengkap, atau siswa IPA sebagai kurang religius. Semua bidang ilmu diberi panggung dan kehormatan yang sama, selama dipandu dengan nilai-nilai ilahiah.
*Penutup*
Spirit Iqra’ adalah seruan perubahan. Dan dalam konteks pendidikan, perubahan itu dimulai dari yang paling atas: dari pemimpinnya. Kalau kepala sekolah tidak berubah, lembaga pun akan sulit tumbuh.
Maka mari kita tiru Cak Nur, bukan dalam gaya atau penampilan, tapi dalam semangatnya: membaca zaman, menjawab tantangan, dan tak pernah berhenti belajar.
Karena pada akhirnya, pendidikan Islam bukan soal gedung dan seragam, tapi soal ruh dan arah. Dan kepemimpinan transformasional adalah mereka yang mampu menyalakan arah itu, bersama yang mereka pimpin.
_Wallahu 'a'lamu._p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar