Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Praktisi pendidikan, pegiat literasi, pengabdi pada lembaga pendidikan swasta, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia
Dalam pemikiran Islam klasik, pendidikan adalah bagian dari amal jariyah yang paling agung. Ia tak hanya menyangkut warisan ilmu, tetapi juga pembentukan karakter manusia dan peradaban. Karena itu, pendidikan tak semestinya dipandang sebagai ladang mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian. Kita mengenal pepatah Arab kuno: al-'ilmu bila 'amalin kasy-syajari bila tsamarin. Artinya, ilmu tanpa pengamalan ibarat pohon tanpa buah. Begitu pula sekolah: tanpa keikhlasan dan kompetensi, ia akan gersang, meskipun tampak besar dan megah.
Negara memang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Ini adalah amanat konstitusi yang bersifat mutlak. Tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk menggantikan peran negara. Namun, dalam sejarah Islam maupun Indonesia, peran masyarakat dalam pendidikan adalah manifestasi dari kesadaran spiritual dan sosial. Lihatlah bagaimana pesantren tumbuh jauh sebelum republik ini berdiri. Itu bukan karena perintah negara, tetapi karena kesadaran moral untuk mencerdaskan umat.
Namun, bila masyarakat ingin mendirikan sekolah, maka itu harus dengan kesadaran bahwa mereka sedang mengambil peran kenabian: membimbing, mendidik, dan mencetak generasi. Peran ini mulia, namun juga berat. Maka tidak cukup hanya dengan semangat. Semangat tanpa ilmu adalah seperti kapal tanpa kemudi. Mendirikan sekolah memerlukan visi yang jernih, strategi yang matang, dan sumber daya yang memadai. Niat saja tak cukup. Dalam Islam, niat harus beriring dengan istikamah dan itqan, ketekunan dan kesungguhan untuk menghasilkan yang terbaik.
Sayangnya, di banyak tempat, kita justru melihat sekolah-sekolah didirikan dengan motivasi yang beragam, sebagian di antaranya bersifat duniawi. Sekolah menjadi sarana penghidupan, bukan pengabdian. Bahkan dalam beberapa kasus, sekolah dijalankan seperti perusahaan keluarga: anak, istri, dan kerabat dekat semua mendapat peran strategis, tanpa memperhatikan kompetensi. Guru menjadi buruh murah, murid menjadi objek pemasukan. Ini tentu mencederai ruh pendidikan.
Pemerintah pun punya bagian kesalahan. Dalam banyak kasus, izin pendirian sekolah diberikan dengan sangat mudah, tanpa kajian tentang kesiapan yayasan dari sisi anggaran, SDM, dan kapasitas manajerial. Maka wajar bila kemudian banyak sekolah swasta terseok-seok di tengah jalan, tak sanggup menggaji guru dengan layak, dan akhirnya tutup atau berubah fungsi.
Namun kita tidak boleh terus menerus saling menyalahkan. Dalam masyarakat madani yang sehat, semua pihak harus bersedia muhasabah, melakukan introspeksi. Sekolah swasta tidak boleh terus berada di posisi menuntut afirmasi, subsidi, atau jatah bantuan dari negara. Ia harus tumbuh dengan kemandirian. Dan kemandirian itu akan tumbuh jika kepemimpinan lembaga diserahkan pada orang-orang berilmu dan berintegritas.
Saat ini, masyarakat semakin cerdas. Mereka memilih sekolah bukan karena jarak atau promosi, tetapi karena mutu. Maka, jalan satu-satunya adalah berbenah. Sekolah swasta harus memperkuat tata kelola, meningkatkan kapasitas guru, memperbaiki sistem rekrutmen, memperhatikan kompensasi dan kesejahteraan tenaga pendidik, serta membangun budaya belajar yang sehat dan merdeka. Inilah bentuk ijtihad zaman kini: memaknai pendidikan sebagai amanah intelektual dan spiritual.
Yayasan sebagai penyelenggara sekolah semestinya menjadi rahmah bagi lembaga, bukan beban. Ia seharusnya seperti seorang ayah yang melindungi, membimbing, dan merawat anak yang dilahirkannya. Bukan seperti pemilik perusahaan yang menuntut keuntungan dari anak perusahaannya.
Pada akhirnya, jika sekolah dikelola dengan _niyyah_ yang benar, dengan amanah yang kokoh, dan dengan ilmu yang memadai, maka bukan hanya lembaga itu yang tumbuh, tetapi juga para pelakunya. Kesejahteraan pun akan datang, bukan diminta, tapi mengalir sebagai buah dari keberkahan.
Sebagaimana kata Imam al-Ghazali, kebaikan dunia ini bersumber dari dua hal: ilmu dan pendidikan. Jika keduanya rusak, maka rusaklah dunia ini seluruhnya. Maka kita semua, negara, masyarakat, guru, dan yayasan, punya peran yang tak bisa dihindari. Mari kita jaga amanah ini dengan sebaik-baiknya.
Wallahu 'a'lamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar