URGENSI RPP
DALAM PERANGKAT AKREDITASI
(Analisis
terhadap Perangkat Instrumen Akreditasi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK Tahun
2017)
(Bagian ke-2)
Oleh:
Dr.H.Mulyawan Safwandy Nugraha,
M.Ag.,M.Pd
(Asesor
BAN S/M Provinsi Jawa Barat dan Pengawas Sekolah Madya pada Madrasah Aliyah
Kankemenag Kabupaten Sukabumi)
ANALISIS
Berdasarkan temuan hasil di
atas (Pada Bagian 1), maka dapat dianalisis hal-hal sebagai berikut:
1.
Butir pertanyaan
yang berkaitan dengan kelengkapan dokumen Bukti fisik berupa RPP pada perangkat
akreditasi 2017 di semua jenjang satuan Pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan
SMK), terdapat dalam 5 Standar, yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Kependidikan dan Standar Penilaian.
Hal ini menunjukan prosentase yang lebih dari sebagian atau setengahnya. Tentu
ini juga menunjukkan bahwa walaupun jumlah dokumen RPP yang dibuat satu orang
guru untuk satu atau beberapa pelajaran di satu atau beberapa jenjang kelas,
namun Nilai manfaatnya untuk 5 buah Standar.
Artinya, jika RPP yang dibuat tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku
(atau yang dituntut dalam penyusunan RPP yang benar) hal ini akan berdampak atau
berpengaruh terhadap butir pertanyaan di Standar-standar yang lain.
2.
Dalam Perangkat
Akreditasi SD/MI, RPP dibutuhkan untuk memenuhi 23 butir pertanyaan dari
seluruh butir pertanyaan yaitu 119 buah atau sebesar 19,23%. Sedangkan untuk
perangkat akreditasi SMP/MTs, RPP dibutuhkan untuk memenuhi 24 buah butir
pertanyaan dari 124 buah atau sebesar 19,35 %. Untuk jenjang SMA/MA, RPP
dibutuhkan untuk memenuhi 27 buah butir pertanyaan dari jumlah seluruh butir
sebanyak 129 buah atau sebesar 20,93%. Dan, terakhir untuk perangkat Akreditasi
SMK, RPP dibutuhkan untuk memenuhi 23 butir pertanyaan dari jumlah seluruh soal
sebanyak 133 buah atau sebesar 17,29 %. Jika dirata-ratakan, di seluruh jenjang
satuan pendidikan, keberadaan RPP dibutuhkan untuk memenuhi 19,2% dari total
seluruh jumlah butir pertanyaan (100%). Menurut penulis, jumlah ini merupakan
jumlah yang cukup besar dan signifikan berpengaruh terhadap ketercapaian
standar kelulusan proses akreditasi Sekolah/Madrasah.
3. Belum lagi jika penulis menelaah bobot butir untuk
setiap pertanyaan yang berkaitan dengan RPP. Bobotnya ada pada angka 3 dan 4.
Hal ini menunjukkan bahwa RPP dipandang sangat berpengaruh dalam dukungannya terhadap pembelajaran bermutudi
sekolah/madrasah. Konsekwensinya adalah bahwa RPP menjadi ukuran keberhasilan
proses pembelajaran. Saat guru mengabaikan keberadaan RPP, maka patut diduga
bahwa guru tersebut tidak memiliki persiapan yang maksimal dalam merencanakan
proses pembelajaran. Guru akan cenderung mengalami kesulitan dalam
menerjemahkan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tertera dalam
Kurikulum. Guru kemungkinan besar akan kesulitan mencapai tujuan yang
diharapkan dari setiap proses pembelajaran yang dilakukan. Dengan instrumen
akreditasi ini, guru di sekolah/madrasah “dipaksa” untuk berlaku dan bersikap
benar, tepat sasaran, efektif dan efisien dalam pembelajaran. Kita tentu tidak
berhadap, saat Sekolah/Madrasah mendapatkan giliran untuk dilakukan proses
akreditasi dan visitasi, di saat itu jugalah guru “baru” menyibukkan diri mempersiapkan
perangkat pembelajaran, terutama sekali mengenai RPP ini. Bahkan tidak jarang,
sampai meninggalkan kewajiban mengajar di kelas, karena harus menyelesaikan
perangkat pembelajaran, disebabkan akan akreditasi. Akhirnya, tidak jarang
muncul kesan, bahwa keberadaan RPP dianggap menghambat dan menyulitkan kerja
guru dalam menjalankan proses mengajar dan pembelajaran. Padahal sejatinya, tidak seperti itu.
4. Secara umum, penulis
menyimpulkan bahwa RPP bukan lagi sesuatu yang perlu ada. Tapi Wajib ada.
Keberadaan RPP diharapkan tidak lagi hanya sebatas pada syarat formal
administrasi atau ketuntasan administrasi guru. Namun lebih dari pada itu,
guru, Kepala dan Pengawas madrasah harus benar-benar melakukan pembinaan,
supervisi akademik, supervisi klinis dalam upaya meningkatkan kemampuan guru
dalam menyusun RPP. Cara yang paling mudah agar pekerjaan guru tidak
bolak-balik atau mengerjakan sesuatu secara tercecer, maka sebaiknya Guru,
Kepala dan Pengawas Madrasah menjadikan perangkat akreditasi menjadi pedoman
dalam implementasi penyusunan RPP dan bentuk admnistrasi akademik lainnya. Bagi
penulis, hal ini menunjukan bahwa RPP memiliki posisi yang urgen, penting,
signifikan dalam upaya pencapaian mutu pembelajaran. Ketika mutu
pembejalajarannya meningkat dan baik, maka secara otomatis akan berdampak
terhadap mutu pendidikan secara keseluruhan.
PENUTUP
RPP sering menjadi kendala tersendiri di kalangan
guru. Berdasarkan hasil pengamanatan, wawancara dan temuan penulis tentang RPP,
ada beberapa faktor penyebabnya, antara
lain (1) guru belum sepenuhnya memahami esensi dari masing-masing komponen penyusun RPP, (2) Peraturan yang mengatur
tentang pembelajaran belum dibaca
dengan utuh atau bahkan tidak pernah dibaca, (3) kemudahan mendapatkan file RPP dari guru satu ke guru lain yang sebenarnya tidak
bisa diterapkan di kelas karena modalitas,
karakteristik, potensi siswanya berbeda, namun RPP tersebut tetap saja digunakan (Copy Paste dan Modifikasi), (4)
kecenderungan berpikir bahwa RPP merupakan pemenuhan administrasi saja, (5) malas atau enggan, salah
satunya karena tidak ada apresiasi dalam bentuk kompensasi, (6) lemahnya
perhatian kepala sekolah dalam pembinaan dan Supervisi akademik khususnya dalam
pembimbingan guru dalam menyusun RPP, (7) RPP sebatas “ada” belum menjadi
Kebutuhan penting sebagai bagian dari proses mengajar yang benar.
Kendala ini dapat teratasi jika guru mau berubah, dari
pemahaman RPP sebagai pemenuhan
administrasi menuju RPP sebagai kewajiban profesional. Artinya sebagai seorang yang
profesional dalam profesi keguruan, seorang guru seyogyanya memahami tugas
pokok dan fungsinya dengan tepat.
Akhirnya, seluruh pihak / Stakholer pendidikan di
Madrasah memiliki kewajiban untuk selalu mengupayakan agar Guru dapat menyusun
RPP-nya secara mandiri. Kita merindukan guru berdiskusi tentang bagaimana
menyusun RPP yang benar, bagaimana menyusun media pembelajaran yang efektif dan
efisien, bagaimana atau metode apa yang digunakan untuk mengajarkan materinya,
bagaimana proses penilaian untuk mengukur ketercapaian keberhasilan
pembelajaran yang dilakukan guru, dan lain sebagainya.
Membangun pola hubungan yang harmonis dan sinergis
antara stakerholder pendidikan madrasah harus menjadi komitmen bersama dalam
melakukan fokus pada pemberdayaan kompetensi guru, khususnya dalam penyusunan
RPP. Akreditasi hakikatnya merupakan “signal” agar para guru memang terbiasa
untuk mempersiapkan administrasinya secara andiri dan tepat waktu.
Pembimbingan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh
pengawas madrasah, supervisi akademik yang profesional dan kebijakan anggaran
untuk guru agar lebih diberdayakan dalam kegiatan MGMP oleh Kepala Madrasah,
sinergitas kebijkan dari pihak Bidang/Seksi Pendidikan Madrasah, dan support
penuh dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota/Provinsi, akan
membangun optimisme bahwa Madrasah akan siap untuk diakreditasi, dan siap pula
divisitasi untuk menunjukkan bahwa madrasah mampu membuktikan kinerja dan
pelayanannya kepada Masyarakat dengan pendidikan yang berkualitas.
Aamiin.
Sukabumi, 07 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar