Minggu, 13 Juli 2025

Kegiatan Juri Madrasah Award 2018







Hijrah: Ketika Waktu Mengajak Kita Jadi Lebih Manusia


Oleh: 
*Mulyawan Safwandy Nugraha*

Setiap kali 1 Muharram tiba, saya seperti diingatkan oleh sesuatu yang halus tapi tajam: waktu tak pernah berhenti. Ia terus berjalan, pelan-pelan tapi pasti, meninggalkan siapa pun yang tak mau bergerak. Tahun baru Islam bukan tentang perayaan meriah. Tidak ada suara petasan, tidak ada gegap gempita. Tapi di sanalah justru letak kekuatannya: ia mengajak kita merenung diam-diam, tapi dalam.

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, kalau dipikir-pikir, bukan peristiwa yang heboh. Tidak ada pasukan besar, tidak ada bentrokan dahsyat. Tapi dari situlah Islam memulai fondasi peradabannya. Jadi saya sering berpikir, mungkin hidup kita pun butuh momen kecil tapi menentukan. Bukan lompatan besar, tapi langkah sadar ke arah yang lebih baik.

Kita sering terjebak dalam rutinitas. Bangun pagi, kerja, pulang, lalu tidur. Ulang lagi besok. Lama-lama kita seperti mesin. Produktif, tapi tak selalu merasa hidup. Di titik itu, hijrah bisa menjadi tanda seru: hei, masihkah kamu menjadi manusia, atau sekadar menjalani hidup secara otomatis?

Hijrah, buat saya, bukan soal pindah rumah atau ganti pekerjaan. Tapi soal keberanian meninggalkan hal-hal yang membuat jiwa kita mati pelan-pelan: iri hati, dendam lama, rasa malas yang dibungkus santai. Bahkan kadang, hijrah itu cuma sekadar diam saat ingin membalas. Atau menahan komentar sarkas yang sebenarnya sudah di ujung lidah.

Setiap tahun baru, saya punya kebiasaan kecil: mencatat pertanyaan untuk diri sendiri. Misalnya, “Apakah saya lebih sabar dari tahun lalu?” atau, “Kenapa saya masih mudah kesal pada hal remeh?” Jawabannya sering kali menyebalkan. Tapi dari situlah proses perubahan bisa dimulai. Kalau tidak jujur pada diri sendiri, kita akan terus bersembunyi di balik topeng.

Agama, dalam pemahaman saya, adalah undangan untuk terus bertumbuh. Bukan sekadar taat, tapi juga tangguh. Tuhan tak menuntut kita menjadi sempurna, tapi Dia ingin kita terus belajar menjadi lebih baik. Dan proses itu sering kali sepi, melelahkan, dan tak terlihat orang. Tapi percayalah, nilainya justru ada di sana.

Kadang saya merasa, banyak orang tampak sibuk, tapi sebenarnya bingung. Banyak yang kelihatan bahagia, tapi kosong. Kita mengejar banyak hal, tapi lupa untuk menengok ke dalam. Hijrah bisa jadi momen jeda. Bukan berhenti, tapi menyesuaikan arah. Seperti kapal yang menyetel ulang kompas sebelum melanjutkan pelayaran.

Saya teringat ucapan seorang teman: “Yang bikin hidup berat itu bukan masalah, tapi cara kita meresponnya atau menanggapinya.” Kalimat sederhana, tapi dalam. Barangkali kita tak perlu mengubah dunia luar. Cukup ubah cara kita memandangnya. Dan itu, juga bagian dari hijrah.

Dalam konteks yang lebih luas, bangsa ini juga butuh hijrah. Dari ujaran kebencian ke dialog yang sehat. Dari politik identitas ke kerja sama. Dari saling curiga ke saling dukung. Kita tak bisa berharap perubahan kalau tak ada keberanian untuk beranjak. Perubahan sosial selalu dimulai dari kesadaran personal.

Hijrah bukan soal meninggalkan sesuatu, tapi menuju sesuatu. Bukan lari dari kenyataan, tapi mendekat ke makna. Tuhan memberi waktu bukan supaya kita sekadar tua, tapi supaya kita tumbuh. Dan pertumbuhan itu, kalau boleh jujur, kadang menyakitkan. Tapi tetap lebih baik daripada diam dan membusuk.

Jadi, saat tahun baru ini datang, saya tak punya target muluk. Cukup satu: menjadi sedikit lebih baik dari kemarin. Lebih sabar, lebih jujur, lebih ringan memaafkan, lebih banyak waktu untuk anak dan isteri, lebih menyedikitkan waktu utk hal scroll Tiktok dan medsos lainnya. Karena itu semua, walau kecil, kalau dikumpulkan, bisa jadi fondasi untuk hidup yang lebih utuh. Dan itulah, saya kira, tujuan dari hijrah.


############
*) Akademisi dan pegiat pemikiran Islam transformatif. Tertarik pada isu Kepemimpinan, Manajemen, Pendidikan. Pengelola Jurnal Ilmiah Bereputasi dan Terakreditasi. Saat ini diamini sebagai Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

*Sekolah Swasta dan Amanah Kecendekiaan: Refleksi atas Tanggung Jawab Bersama*


Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Praktisi pendidikan, pegiat literasi, pengabdi pada lembaga pendidikan swasta, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia

Dalam pemikiran Islam klasik, pendidikan adalah bagian dari amal jariyah yang paling agung. Ia tak hanya menyangkut warisan ilmu, tetapi juga pembentukan karakter manusia dan peradaban. Karena itu, pendidikan tak semestinya dipandang sebagai ladang mencari keuntungan, melainkan ladang pengabdian. Kita mengenal pepatah Arab kuno: al-'ilmu bila 'amalin kasy-syajari bila tsamarin. Artinya, ilmu tanpa pengamalan ibarat pohon tanpa buah. Begitu pula sekolah: tanpa keikhlasan dan kompetensi, ia akan gersang, meskipun tampak besar dan megah.

Negara memang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Ini adalah amanat konstitusi yang bersifat mutlak. Tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk menggantikan peran negara. Namun, dalam sejarah Islam maupun Indonesia, peran masyarakat dalam pendidikan adalah manifestasi dari kesadaran spiritual dan sosial. Lihatlah bagaimana pesantren tumbuh jauh sebelum republik ini berdiri. Itu bukan karena perintah negara, tetapi karena kesadaran moral untuk mencerdaskan umat.

Namun, bila masyarakat ingin mendirikan sekolah, maka itu harus dengan kesadaran bahwa mereka sedang mengambil peran kenabian: membimbing, mendidik, dan mencetak generasi. Peran ini mulia, namun juga berat. Maka tidak cukup hanya dengan semangat. Semangat tanpa ilmu adalah seperti kapal tanpa kemudi. Mendirikan sekolah memerlukan visi yang jernih, strategi yang matang, dan sumber daya yang memadai. Niat saja tak cukup. Dalam Islam, niat harus beriring dengan istikamah dan itqan, ketekunan dan kesungguhan untuk menghasilkan yang terbaik.

Sayangnya, di banyak tempat, kita justru melihat sekolah-sekolah didirikan dengan motivasi yang beragam, sebagian di antaranya bersifat duniawi. Sekolah menjadi sarana penghidupan, bukan pengabdian. Bahkan dalam beberapa kasus, sekolah dijalankan seperti perusahaan keluarga: anak, istri, dan kerabat dekat semua mendapat peran strategis, tanpa memperhatikan kompetensi. Guru menjadi buruh murah, murid menjadi objek pemasukan. Ini tentu mencederai ruh pendidikan.

Pemerintah pun punya bagian kesalahan. Dalam banyak kasus, izin pendirian sekolah diberikan dengan sangat mudah, tanpa kajian tentang kesiapan yayasan dari sisi anggaran, SDM, dan kapasitas manajerial. Maka wajar bila kemudian banyak sekolah swasta terseok-seok di tengah jalan, tak sanggup menggaji guru dengan layak, dan akhirnya tutup atau berubah fungsi.

Namun kita tidak boleh terus menerus saling menyalahkan. Dalam masyarakat madani yang sehat, semua pihak harus bersedia muhasabah, melakukan introspeksi. Sekolah swasta tidak boleh terus berada di posisi menuntut afirmasi, subsidi, atau jatah bantuan dari negara. Ia harus tumbuh dengan kemandirian. Dan kemandirian itu akan tumbuh jika kepemimpinan lembaga diserahkan pada orang-orang berilmu dan berintegritas.

Saat ini, masyarakat semakin cerdas. Mereka memilih sekolah bukan karena jarak atau promosi, tetapi karena mutu. Maka, jalan satu-satunya adalah berbenah. Sekolah swasta harus memperkuat tata kelola, meningkatkan kapasitas guru, memperbaiki sistem rekrutmen, memperhatikan kompensasi dan kesejahteraan tenaga pendidik, serta membangun budaya belajar yang sehat dan merdeka. Inilah bentuk ijtihad zaman kini: memaknai pendidikan sebagai amanah intelektual dan spiritual.

Yayasan sebagai penyelenggara sekolah semestinya menjadi rahmah bagi lembaga, bukan beban. Ia seharusnya seperti seorang ayah yang melindungi, membimbing, dan merawat anak yang dilahirkannya. Bukan seperti pemilik perusahaan yang menuntut keuntungan dari anak perusahaannya.

Pada akhirnya, jika sekolah dikelola dengan _niyyah_ yang benar, dengan amanah yang kokoh, dan dengan ilmu yang memadai, maka bukan hanya lembaga itu yang tumbuh, tetapi juga para pelakunya. Kesejahteraan pun akan datang, bukan diminta, tapi mengalir sebagai buah dari keberkahan.

Sebagaimana kata Imam al-Ghazali, kebaikan dunia ini bersumber dari dua hal: ilmu dan pendidikan. Jika keduanya rusak, maka rusaklah dunia ini seluruhnya. Maka kita semua, negara, masyarakat, guru, dan yayasan, punya peran yang tak bisa dihindari. Mari kita jaga amanah ini dengan sebaik-baiknya.

Wallahu 'a'lamu.

Seri 3 *Kepemimpinan Transformatif dan Spirit Iqra’: Menjadi Kepala pada lembaga Pendidikan Islam yang Mencerahkan*


Oleh: *Mulyawan Safwandy Nugraha*

Praktisi pendidikan, pegiat literasi, Pendidik, Peneliti dan Pengabdi yang saat ini menjadi Dosen UIN SGD Bandung, Institut KH Ahmad Sanusi Sukabumi, STAI Al-Masthuriyah Sukabumi dan STAI Kharisma Sukabumi.


Dalam Al-Qur’an, wahyu pertama yang turun bukan perintah salat, bukan zakat, bukan pula membangun lembaga atau negara. Yang pertama justru satu kata sederhana namun revolusioner: “Iqra", artinya bacalah.

Maksud lebih luas: Bacalah dunia, bacalah dirimu, bacalah realitas. Kata ini tidak hanya menandai lahirnya agama Islam secara tekstual, tetapi juga menandai arah dasar peradaban Islam: bahwa agama ini dibangun di atas kesadaran, pemahaman, dan perubahan. Maka, kalau kita bicara tentang kepemimpinan dalam lembaga pendidikan Islam, pertanyaan dasarnya bukan lagi sekadar “siapa yang memimpin?” tapi “apakah kepemimpinan itu mencerdaskan?”

*Iqra’ Sebagai Ruh Kepemimpinan Pendidikan*

Kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang membebaskan. Ia tidak mengandalkan otoritas struktural, tapi kekuatan inspirasi. Pemimpin transformasional tidak sekadar menyuruh dan memerintah, tapi menyulut kesadaran pada mereka yang ia pimpin.

Dan bukankah ini juga yang dilakukan Rasulullah SAW? Beliau memimpin bukan dengan kekerasan, bukan dengan teriakan. Beliau hadir dengan akhlak, dengan pembacaan realitas sosial yang dalam, dan dengan harapan. Inilah yang membedakan antara pemimpin administratif dan pemimpin visioner.

Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, sering menekankan bahwa kesadaran keagamaan harus ditopang oleh kesadaran rasional dan moral

|“Kesadaran keagamaan itu seyogianya berdiri di atas landasan rasional dan moral. Tanpa itu, agama bisa menjelma menjadi kekuatan gelap.”|
(Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan)


Maka pemimpin pendidikan Islam hari ini harus mampu menanamkan spirit Iqra’ bukan hanya pada siswa, tapi pertama-tama pada dirinya sendiri dan seluruh jajarannya.

*Cak Nur dan Misi Kemanusiaan Pendidikan*

Cak Nur tidak menulis banyak tentang manajemen pendidikan dalam makna teknis, tapi pemikirannya sangat kaya untuk dibaca sebagai inspirasi perubahan struktural dan kultural dalam lembaga pendidikan. Ia menolak bentuk-bentuk keberagamaan yang hanya simbolik. Bagi Cak Nur, agama harus menjadi jalan untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya.

Kalau kita mengelola sekolah Islam hanya sebagai tempat mengajar hafalan, tanpa membuka ruang dialog, berpikir kritis, dan tumbuhnya karakter, maka sejatinya kita sedang mengkhianati semangat wahyu pertama itu.

| “Islam adalah agama kemanusiaan, bukan hanya dalam arti sebagai sistem nilai untuk manusia, tetapi karena Islam memang ditujukan untuk pembebasan dan pemanusiaan.”|
(Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina)

Dalam konteks pendidikan, membebaskan berarti mengantar siswa dan guru dari ketakutan menuju keberanian berpikir; dari ketergantungan menuju kemandirian; dari dogma menuju pemahaman.

*Membaca Zaman, Menjawab Tantangan*

Kepemimpinan transformatif lahir dari kemampuan membaca konteks. Dalam istilah Cak Nur, kita harus “beragama secara rasional dan historis.”
(Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina)

Artinya, nilai-nilai Islam harus dihadirkan secara kontekstual, menjawab tantangan zaman, bukan membungkus diri dalam nostalgia romantik masa lalu.

Mari kita jujur: banyak lembaga pendidikan Islam hari ini lebih sibuk pada tampilan luar. Seragam panjang, jargon religius, parade hafalan. Tapi tak ada ruang bertanya, tak ada ruang ragu, apalagi ruang berdialog. Semuanya digerakkan oleh ketakutan akan kehilangan identitas.

Padahal, Cak Nur justru percaya bahwa iman yang kokoh tumbuh dari proses berpikir, bukan dari penggiringan paksa.

| “Agama, bagi saya, adalah keikhlasan total—bukan ketakutan.”|
(Madjid, Nurcholish. 1997. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina)

Maka pemimpin di lembaga pendidikan Islam harus hadir sebagai pembaca zaman. Ia harus tahu bahwa generasi hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi dua dekade lalu. Cara mereka belajar, bertanya, memprotes, dan mencari makna, jauh berbeda.

*Tiga Pilar Kepemimpinan ala Spirit Iqra’*

1. Keberanian untuk Berubah
Pemimpin transformatif tidak takut meninjau ulang kurikulum, membuka diskusi, atau menghapus praktik-praktik yang kaku dan mengekang.

2. Kemampuan Mendengar dan Belajar
Dalam surah Az-Zumar [39:18], Allah berfirman:
“Sampaikan kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.”
Mendengar adalah seni kepemimpinan yang jarang diajarkan.

3. Keteladanan dalam Berpikir
Pemimpin sekolah yang membaca, merenung, dan menulis akan lebih mudah menghidupkan budaya belajar. Ia tidak perlu memerintah—cukup memberi teladan.

*Menutup Sekat Antara Ilmu dan Iman*

Salah satu warisan penting dari Cak Nur adalah gagasannya tentang integrasi ilmu dan iman. Ia menolak dikotomi ilmu dunia dan ilmu agama.

|“Seluruh ilmu, bila diarahkan pada kemaslahatan dan kebajikan, adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan.”|
(Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan)

Kepala di lembaga pendidikan Islam yang terinspirasi semangat ini tidak akan menempatkan guru matematika sebagai pelengkap, atau siswa IPA sebagai kurang religius. Semua bidang ilmu diberi panggung dan kehormatan yang sama, selama dipandu dengan nilai-nilai ilahiah.

*Penutup*

Spirit Iqra’ adalah seruan perubahan. Dan dalam konteks pendidikan, perubahan itu dimulai dari yang paling atas: dari pemimpinnya. Kalau kepala sekolah tidak berubah, lembaga pun akan sulit tumbuh.

Maka mari kita tiru Cak Nur, bukan dalam gaya atau penampilan, tapi dalam semangatnya: membaca zaman, menjawab tantangan, dan tak pernah berhenti belajar.

Karena pada akhirnya, pendidikan Islam bukan soal gedung dan seragam, tapi soal ruh dan arah. Dan kepemimpinan transformasional adalah mereka yang mampu menyalakan arah itu, bersama yang mereka pimpin.

_Wallahu 'a'lamu._p

Seri 2. *Api yang Memimpin: Kepemimpinan Pendidikan Islam dalam Sorotan Cak Nur*



Oleh: *Mulyawan Safwandy Nugraha*

Praktisi pendidikan, pegiat literasi, Pendidik, Peneliti dan Pengabdi yang saat ini menjadi Dosen UIN SGD Bandung, Institut KH Ahmad Sanusi Sukabumi, STAI Al-Masthuriyah Sukabumi dan STAI Kharisma Sukabumi.


*Awwalan*
Kadang-kadang, kita lupa bahwa lembaga pendidikan Islam bukan hanya tempat menghafal ayat dan menanamkan kedisiplinan. Ia adalah ruang hidup tempat ide, semangat, dan nilai tumbuh atau layu. Dalam ruang itu, siapa yang memimpin—dan bagaimana cara ia memimpin—menentukan arah dan napas lembaga tersebut.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan satu pengakuan sederhana: saya merindukan pemimpin lembaga pendidikan yang tidak hanya bisa mengelola rapat dan absen guru, tapi yang punya api. Api berpikir, api batin, dan api keberanian untuk berjalan di jalan yang sulit, demi satu hal: memanusiakan manusia lewat pendidikan.

Dan ketika saya menyebut “api”, saya teringat kepada seorang tokoh yang dalam banyak hal jauh dari dunia teknis pendidikan, tapi justru mewariskan semangat yang relevan bagi kepemimpinan pendidikan Islam saat ini: Nurcholish Madjid, atau Cak Nur.

*Bukan Soal Gaya, Tapi Soal Pandangan Dunia*

Cak Nur tidak pernah menjadi kepala sekolah. Ia juga tidak pernah mengelola yayasan pendidikan. Ia Pernah menjadi Rektor di universitas Paramadina, sebuah kampus dengan ciri khas cakNur, excellent. Tapi pemikirannya tentang Islam yang membebaskan, mencerahkan, dan memanusiakan justru terasa sangat menyentuh jantung persoalan pendidikan Islam hari ini.

Ia pernah berkata: “Agama itu harus menjadi sumber pencerahan, bukan kegelapan; pembebas, bukan penindas.” Lalu, saya bertanya dalam hati: berapa banyak pemimpin lembaga pendidikan Islam yang sungguh-sungguh menjadikan diri mereka sebagai sumber cahaya? Berapa banyak yang tidak sekadar mengelola bangunan fisik dan agenda tahunan, tapi juga menjaga nyala batin lembaga yang ia pimpin?

Kepemimpinan dalam pendidikan Islam, dalam semangat Cak Nur, bukanlah soal karisma, sertifikat, atau jabatan. Ia adalah amanah. Dan amanah itu harus dijiwai oleh niat untuk melayani, bukan menguasai; membimbing, bukan menaklukkan.

*Kepemimpinan Adalah Ibadah*

Sayangnya, kita masih menjumpai pemimpin lembaga pendidikan Islam yang mendefinisikan kepemimpinan seperti manajer pabrik: mengatur, mengawasi, dan menekan target. Lembaga dijalankan seperti mesin. Guru dianggap operator. Murid adalah produk. Dan yang paling sering diabaikan: nilai.

Padahal dalam pandangan Islam, kepemimpinan adalah bentuk ibadah. Nabi Muhammad SAW sendiri menggambarkan kepemimpinan sebagai tanggung jawab besar: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.”

Ini bukan ungkapan untuk menakut-nakuti. Tapi pengingat bahwa memimpin sekolah berarti memimpin kehidupan banyak orang, dari guru, staf, hingga murid-murid yang mungkin di rumahnya tidak pernah punya ruang untuk tumbuh. Maka, jika seorang kepala sekolah tidak punya kesadaran spiritual, ia akan mudah tergelincir dalam formalitas dan kekuasaan yang hampa.

*Cak Nur dan Pemimpin yang Tidak Gagap Zaman*

Salah satu warisan besar dari Cak Nur adalah keberaniannya untuk tidak gagap zaman. Ia membaca dunia modern bukan dengan kecurigaan, tapi dengan keterbukaan. Ia tidak menolak Barat mentah-mentah, tapi memilah: mana yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan mana yang tidak.

Ini penting dalam konteks pendidikan Islam hari ini. Pemimpin lembaga pendidikan Islam harus berhenti alergi pada perubahan. Mereka harus siap berdialog dengan teknologi, metode pembelajaran baru, dan tuntutan zaman. Tapi dengan satu syarat: tidak kehilangan akar.

Kepemimpinan yang baik bukanlah yang hanya bisa berkata “kita harus berubah”, tapi yang bisa menjelaskan mengapa harus berubah dan bagaimana tetap menjaga nilai-nilai Islam di tengah perubahan itu. Ini bukan perkara mudah, tapi sangat mungkin jika pemimpinnya punya “api berpikir” seperti yang Cak Nur wariskan.

*Memimpin Dengan Hati yang Tumbuh*

Barangkali, salah satu kutipan Cak Nur yang paling dalam maknanya bagi saya adalah ini: “Agama, bagi saya, adalah keikhlasan total.” Dan dari sana saya belajar bahwa memimpin lembaga pendidikan Islam dengan ikhlas berarti memimpin dengan hati yang terus tumbuh.

Bukan hati yang keras dan mudah menghakimi. Tapi hati yang peka, yang tahu kapan harus mendengar, kapan harus mengambil keputusan, dan kapan harus memaafkan.

Karena pada akhirnya, yang paling diingat dari seorang pemimpin bukan target tahunan, bukan akreditasi, bukan pembangunan aula. Tapi apakah ia pernah sungguh-sungguh menjadi teladan, memberi ruang tumbuh bagi bawahannya, dan membuat lembaganya menjadi tempat yang hidup.

*Akhir Kata*

Kita tidak kekurangan pemimpin formal di lembaga pendidikan Islam. Tapi kita sering kekurangan pemimpin yang berani membawa cahaya, bukan hanya menyalakan lampu.

Kepemimpinan bukan soal besar kecilnya lembaga, tapi soal besar kecilnya niat, gagasan, dan keberanian untuk menyalakan api. Dan dari Cak Nur, kita belajar: yang dibutuhkan umat ini bukan penghafal sejarah, tapi penyala masa depan.



Seri 1 *Mengenang Cak Nur: Membaca Kembali Api Intelektual untuk Pendidikan Islam Masa Kini*



*Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha*

Ada Ada satu nama yang seakan tak bisa dilewatkan ketika kita bicara tentang gerakan intelektual Islam Indonesia di abad ke-20: Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur. Ia bukan pendidik dalam pengertian teknis, bukan pula pengasuh pesantren yang setiap hari bergelut dengan kurikulum, kelas, dan raport. Tapi ia adalah guru bangsa—seseorang yang memantik api berpikir dalam gelapnya stagnasi keislaman dan keindonesiaan.

Namun, seiring berlalunya waktu, nama Cak Nur perlahan surut dari ingatan generasi baru. Bahkan di kalangan civitas akademika lembaga pendidikan Islam, pemikiran Cak Nur tidak selalu menjadi rujukan utama. Mungkin karena ia terlalu "berani", terlalu "liberal", atau karena tema-tema yang ia geluti dianggap bukan ranah pendidikan formal.

Padahal jika kita tengok lebih dalam, ide-ide Cak Nur adalah sumber daya intelektual yang kaya, yang bisa menjadi semangat dan arah bagi pembaruan pendidikan Islam di era ini.

*Cak Nur: Antara Tradisi dan Transformasi*

Cak Nur tumbuh dari rahim pesantren, lalu terbang ke langit akademik modern, dari Ciputat hingga ke Chicago. Ia menjembatani dua dunia yang seringkali dianggap bertentangan: keislaman tradisional dan pemikiran modern.

Salah satu gagasannya yang terkenal adalah ungkapan: "Islam, yes. Partai Islam, no." Sebuah pernyataan yang membuat gempar, tetapi justru membuka jalan panjang diskusi tentang hubungan Islam dan politik, Islam dan negara, bahkan Islam dan pendidikan.

Bagi Cak Nur, Islam adalah nilai spiritual dan etis yang harus menjadi ruh dalam setiap aspek kehidupan, bukan sekadar atribut formal yang dikemas dalam institusi politik atau birokrasi. Maka, kalau kita tilik lebih jauh, pendidikan Islam pun harus dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia, bukan sekadar transmisi dogma.

Dalam kuliah-kuliahnya, Cak Nur sering mengutip Iqra' sebagai fondasi epistemik pendidikan Islam. Tapi ia tak berhenti pada pengertian harfiah “membaca”, melainkan membawanya kepada semangat pembebasan intelektual. Ia menyitir kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Ajari anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Sebuah pesan yang menjadi pondasi penting untuk reformasi pendidikan Islam hari ini.

*Pendidikan Islam: Antara Sakralisasi Masa Lalu dan Tantangan Masa Depan*

Salah satu kritik utama Cak Nur terhadap umat Islam adalah kecenderungan untuk mensakralkan masa lalu secara membabi buta. Ia menilai bahwa kebesaran sejarah Islam sering kali hanya menjadi mitos, bukan inspirasi untuk perubahan.

Begitu pula dalam pendidikan Islam. Banyak lembaga yang begitu menjaga bentuk formal, seragam syar’i, kurikulum yang penuh hafalan, dan narasi sejarah Islam yang selektif—tapi kehilangan daya hidup dalam membentuk pribadi yang berpikir kritis, terbuka, dan bertanggung jawab.

Cak Nur justru mendorong kita untuk belajar dari substansi Islam, bukan bentuknya. Ia kerap mengangkat istilah al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi al-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Inilah prinsip pendidikan Islam yang sejati menurutnya: dinamis, progresif, dan berpijak pada kemaslahatan.


*Spirit Cak Nur dalam Pendidikan Islam Kontemporer*

Jika kita ingin membangun lembaga pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan zaman, semangat Cak Nur bisa menjadi jembatan ideologis dan praksis.

Pertama, menempatkan akal dan ilmu sebagai instrumen utama pengabdian kepada Tuhan. Cak Nur menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Baginya, semua ilmu yang membawa manusia pada kebaikan dan kebijaksanaan adalah bagian dari perintah Tuhan.

Kedua, membangun tradisi dialogis dalam belajar. Cak Nur meneladani model pendidikan Nabi Muhammad yang tidak otoriter, melainkan partisipatif. Ia percaya bahwa pendidikan bukan penyeragaman, tapi pembebasan. Bukan dogma, tapi dialektika.

Ketiga, mengusung nilai inklusif dan keberagaman. Dalam pandangan Cak Nur, pendidikan Islam tidak boleh terjebak dalam eksklusivisme identitas. Ia harus menjadi wadah semua kalangan untuk tumbuh bersama dalam semangat tauhid yang memanusiakan.


*Mengenalkan Kembali: Bukan Mengkultuskan*

Tentu, tidak semua pemikiran Cak Nur bisa diterima tanpa kritik. Bahkan beberapa pemikir kontemporer menyebutnya terlalu dekat dengan sekularisme Barat atau menabrak pakem-pakem fiqh klasik. Namun, justru dalam ruang itulah pendidikan kita bisa belajar tentang pentingnya berani berpikir.

Generasi muda muslim hari ini lebih dekat dengan TikTok daripada tafsir, lebih kenal fashion daripada fiqh. Maka, mengenalkan kembali tokoh seperti Nurcholish Madjid bukan untuk mengkultuskan, tapi untuk menyambungkan benang sejarah intelektual yang kaya kepada mereka.

Kita butuh narasi besar. Bukan hanya tentang kejayaan Islam abad ke-7, tapi juga tentang gagasan-gagasan yang relevan dengan realitas hari ini. Dalam hal ini, Cak Nur adalah bagian penting dari narasi itu.


*Menutup Pintu Ketertinggalan, Membuka Jendela Harapan*

Pendidikan Islam di Indonesia menghadapi tantangan besar: disparitas mutu, kekeringan metodologi, hingga keterasingan dari dunia nyata. Tapi selama semangat para pemikir besar seperti Cak Nur masih dibaca dan direnungkan, selalu ada harapan.

Cak Nur pernah berkata, "Jangan warisi abu dari api, tapi warisilah apinya." Pesan ini sangat relevan untuk kita hari ini. Jangan sekadar mewarisi simbol-simbol kejayaan Islam, tapi warisilah semangat berpikir, keberanian bertanya, dan ketekunan mencari kebenaran.

Maka mari kita baca ulang karya-karya Cak Nur, bukan sebagai doktrin, tapi sebagai percikan api. Dari sana, mungkin akan tumbuh satu generasi baru, yang mencintai Islam dengan hati terbuka, yang berpikir kritis tanpa kehilangan adab, dan yang menjadikan pendidikan sebagai jalan jihad intelektual.

*Penutup*

Memperkenalkan kembali Nurcholish Madjid kepada generasi kini bukan semata mengenang tokoh besar. Ini adalah ikhtiar untuk membangun kembali semangat pendidikan Islam yang hidup, terbuka, dan bergerak maju. Kita tidak perlu sepakat atas semua pikirannya, tapi kita tidak boleh melupakannya.

Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pemikirnya. Dan umat yang cerdas adalah umat yang terus menyalakan api berpikir, bukan mewarisi abunya.


--------------------------------------
*) Penulis adalah Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang melakukan pengabdian sebagai: 
- Ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia
- Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Sukabumi
- Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
- Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi MUI Kota Sukabumi
- Ketua Komisi Bidang Pendidikan ICMI Kota Sukabumi
- Anggota Litbang, Perpustakaan, Kajian dan Kurikulum DKM Masjid Agung Kota Sukabumi
- Ketua FU-Warci (Forum Ukhuwah Islamiyah Warga Ciaul) Kota Sukabumi

(2) Ketika Kharisma Menyembunyikan Bahaya: Mengungkap Sisi Gelap Kepemimpinan Narsistik


Oleh: 
*Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd*
Dosen Tetap pada Prodi S2 Manajemen Pendidikan Islam
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

====================

Beberapa tahun lalu, saya mengikuti rapat strategis di sebuah lembaga yang sedang bersiap menyambut pimpinan baru. Begitu orangnya masuk ruangan, atmosfer langsung berubah. Tegas, percaya diri, dan kharismatik. Ia tak butuh waktu lama untuk memukau semua yang hadir. Suaranya mantap, gesturnya presisi, dan visinya terdengar seperti angin segar bagi organisasi yang sudah lama stagnan. Saya sendiri sempat berpikir, akhirnya, seseorang yang tahu apa yang dia lakukan.

Namun, seperti banyak kisah yang terlalu sempurna di awal, ternyata pesona itu menyimpan sesuatu. Tiga bulan kemudian, suasana rapat mulai berubah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kritik disambut dengan sinis, bahkan di beberapa kasus, mereka yang vokal mulai “diparkir” atau dikucilkan secara halus. Semuanya menjadi lebih kaku, lebih sunyi. Orang-orang mulai menjaga jarak. Dan pemimpin yang dulu dielu-elukan, kini mulai menciptakan suasana kerja yang penuh tekanan, bahkan rasa takut.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam banyak organisasi, baik swasta maupun publik, pemimpin narsistik kerap tampil seperti penyelamat di awal kemunculannya. Mereka tahu betul bagaimana mencuri perhatian, memanipulasi persepsi, dan membentuk citra “pemimpin kuat” yang sangat menjual di zaman yang terobsesi dengan performa dan pencitraan. Dalam istilah psikologis, mereka menunjukkan gejala *Narcissistic Personality Disorder (NPD)* — gangguan kepribadian yang ditandai dengan rasa superioritas yang berlebihan, kebutuhan konstan akan pujian, serta kurangnya empati terhadap orang lain.

Masalahnya, dalam dunia yang makin cepat dan penuh tekanan, tipe pemimpin seperti ini justru sering naik daun. Mereka adalah _great presenters, bukan necessarily great leaders_. Mereka pintar membuat janji, menyusun narasi besar, bahkan mengatur suasana agar terlihat selalu dalam kendali. Namun di balik layar, mereka sulit menerima kritik, cenderung mengambil keputusan impulsif demi pencitraan, dan membentuk lingkungan kerja yang tidak sehat.

Saya teringat sebuah percakapan ringan dengan seorang rekan kerja. Ia berkata, “Bosku sekarang hebat sih… tapi capek banget kerja bareng dia.” Ketika saya tanya kenapa, ia menjelaskan bahwa setiap hari seperti berada di panggung. Semua harus tampak sempurna. Tak ada ruang untuk salah, apalagi diskusi terbuka. Segala keputusan mutlak dari atas. “Ini bukan kerja tim lagi, tapi drama tunggal,” katanya sambil tertawa getir.

Menurut Jean Twenge dan W. Keith Campbell (2009), budaya narsisme tumbuh subur di tengah masyarakat yang sangat mementingkan pencitraan dan validasi eksternal. Media sosial, budaya personal branding, bahkan sistem kerja yang terlalu fokus pada hasil jangka pendek, turut menyuburkan iklim ini. Dalam konteks kepemimpinan, ini jadi berbahaya. Karena bukan hanya pemimpin yang ‘bermasalah’ yang perlu dikritisi, tetapi juga sistem yang memberi ruang dan penghargaan pada gaya kepemimpinan toksik.

Tokoh kepemimpinan seperti Simon Sinek pernah berkata, “Pemimpin hebat tidak menciptakan pengikut, mereka membentuk pemimpin baru.” Ini adalah kutipan yang penting untuk diingat. Seorang pemimpin sejati akan fokus membangun tim, menciptakan ruang aman, dan memfasilitasi pertumbuhan orang lain—bukan sekadar memoles citra pribadinya. Kepemimpinan bukanlah soal menjadi pusat perhatian, tetapi tentang bagaimana membuat orang lain merasa mereka bagian penting dari perjalanan bersama. Untuk hal ini, saya sendiri punya pendapat: _Pemimpin yang tidak tergantikan adalah pemimpin yang bisa digantikan._

Saya pernah bekerja dalam dua lingkungan lembaga yang sangat kontras. Yang satu dipimpin oleh figur dominan dan narsistik; yang lainnya oleh pemimpin yang tenang, kolaboratif, dan empatik. Di tempat pertama, setiap minggu terasa seperti bertahan di tengah badai ego. Di tempat kedua, suasana lebih sederhana, lebih manusiawi. Tapi anehnya, hasil kerjanya jauh lebih produktif. Mengapa? Karena orang merasa aman untuk berpikir, mencoba, dan berbuat salah tanpa dihukum.

Kita sering terjebak dalam kesalahan menilai kepemimpinan dari tampilan luar. Padahal, sebagaimana dalam hubungan pribadi, yang paling penting bukanlah bagaimana seseorang terlihat di depan publik, tapi bagaimana mereka memperlakukan orang-orang terdekatnya—dalam hal ini, timnya sendiri. Karisma bisa memikat, tapi empati-lah yang menyatukan.

Ini bukan berarti semua pemimpin percaya diri adalah narsistik. Namun, penting bagi kita sebagai masyarakat, organisasi, bahkan sebagai individu yang suatu saat mungkin akan memimpin, untuk bertanya: Apakah saya (atau kita) terlalu mudah terpesona oleh penampilan luar? Apakah kita memberi ruang bagi mereka yang bijak, meski tidak flamboyan? Apakah kita ikut mendukung sistem yang menghargai hasil semata, tanpa peduli bagaimana cara mencapainya?

Perubahan dimulai dari kesadaran. Dari kemampuan untuk melihat lebih dalam, melewati lapisan pencitraan, dan menilai esensi kepemimpinan sejati: keberanian untuk jujur, kekuatan untuk mendengar, dan kerendahan hati untuk terus belajar.

Karena dunia yang semakin kompleks seperti sekarang tidak membutuhkan lebih banyak pemimpin narsistik. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa membimbing dengan hati, bukan memimpin dengan topeng yang penuh make-up. Jangan sampai terjadi: wajah putih karena rajin pakai skin care, tapi leher tetap saja coklat/sawo matang.

Hijrah: Ketika manusia berproses untuk lebih menjadi Manusia

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Setiap kali memasuki bulan Muharram, saya teringat satu pertanyaan lama yang entah siapa yang pertama kali lontarkan: kenapa kalender Islam dimulai dari hijrah, bukan dari kelahiran Nabi Muhammad, atau turunnya wahyu pertama? Orang-orang sering menjawab dengan bahasa yang sangat agamis—simbol perjuangan, awal peradaban, dan seterusnya. Tapi saya punya jawaban sederhana: karena orang Islam, dari dulu sampai sekarang, memang suka pindah-pindah. Cuma sayangnya, sering lupa tujuan.


Hijrah itu memang penting. Tapi jangan buru-buru membayangkan sesuatu yang berat dan dramatis. Kita ini kadang terlalu sibuk mengurusi hijrah orang lain: “Wah, dia udah hijrah tuh... pakai gamis... Pakai hijab....jenggotan... mantap!” Tapi lupa ngaca—sudah hijrah dari nyinyir ke berpikir belum? Sudah hijrah dari gampang tersinggung ke gampang tertawa belum?


Saya tidak sedang mengecilkan makna hijrah. Tapi justru ingin mengingatkan bahwa makna hijrah itu sangat luas, bahkan bisa sangat pribadi. Nabi Muhammad saja, waktu hijrah ke Madinah, tidak bawa bala tentara. Beliau hanya ditemani Abu Bakar. Itu pun sembunyi-sembunyi. Tidak ada status Instagram bertuliskan “Bismillah, hijrah.” Jadi, kalau ada orang berubah pelan-pelan, jangan buru-buru bilang belum hijrah. Bisa jadi dia justru sedang dalam proses paling dalam.


Orang suka lupa, bahwa hijrah juga bisa berarti: berhenti menyakiti orang lain. Berhenti merasa paling benar. Berhenti merasa surga itu milik kelompok sendiri. Itu juga hijrah, meskipun tidak kelihatan dari pakaian luar. Hijrah adalah berpindah dari sempit ke lapang, dari keras ke lembut, dari sok tahu ke tahu diri.


Saya pernah bilang dalam satu ceramah santai, yang kadang lebih banyak ketawanya daripada isinya“Agama itu untuk membebaskan manusia, bukan menakut-nakutinya.” Jadi kalau cara kita beragama justru bikin orang takut, cemas, dan merasa makin jauh dari Tuhan, ya kita perlu hijrah. Bukan dari agama, tapi dari cara memahaminya.


Di masa seperti sekarang, hijrah bukan cuma soal pribadi. Bangsa ini juga perlu hijrah. Dari kebisingan debat tak berujung menuju suasana saling mendengar. Dari saling curiga ke saling memahami. Dari kata-kata kasar di kolom komentar ke tindakan nyata di dunia nyata. Percuma status sosial media panjang-panjang kalau di warung masih enggan antri dan buang sampah sembarangan.


Kadang saya berpikir, kita ini terlalu serius dalam hal-hal yang tak penting, dan terlalu santai dalam hal-hal yang genting. Hijrah itu artinya tahu mana yang perlu ditertawakan, dan mana yang harus disikapi dengan hati-hati. Jangan semua masalah dianggap urusan iman, tapi juga jangan semua urusan iman dianggap bahan candaan.


Kalau kita mau jujur, hidup ini memang penuh perubahan. Bahkan tubuh kita pun berubah tanpa kita sadari. Maka pertanyaannya bukan “mau berubah atau tidak?”, tapi “mau berubah ke arah mana?” Orang bisa berubah jadi lebih keras, lebih kejam, lebih egois. Maka hijrah adalah upaya sadar untuk berubah menjadi lebih manusia—lebih pengertian, lebih lembut, lebih bisa tertawa.


Satu hal yang saya pelajari dari banyak orang bijak: orang yang makin dalam ilmunya, justru makin tenang. Tidak mudah marah, tidak mudah menghakimi. Maka saya kira, hijrah juga berarti berpindah dari dangkal ke dalam. Bukan cuma paham ayat, tapi paham makna. Bukan cuma fasih berdoa, tapi juga lembut hatinya.


Kalau mau jujur lagi, sebagian dari kita ini sudah terlalu lama hidup dalam rutinitas. Bangun, kerja, pulang, rebahan, scroll medsos, lalu tidur. Begitu terus. Kita perlu hijrah, bukan ke tempat lain, tapi ke versi diri kita yang lebih sadar. Sadar bahwa hidup ini singkat, dan terlalu berharga untuk diisi dengan marah-marah tiap hari.


Jadi ya sudah, tak usah muluk-muluk. Tahun baru hijriyah ini, mari kita hijrah pelan-pelan. Dari kebiasaan menunda ke disiplin. Dari mulut yang tajam ke hati yang hangat. Dari semangat membenci ke semangat memperbaiki. Kalau pun belum bisa semua, ya tidak apa-apa. Yang penting terus berjalan. Karena seperti kata Gus Dur: “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Dan hijrah, pada akhirnya, adalah cara kita belajar menjadi manusia yang lebih baik.



---


Bio Penulis:

Mulyawan Safwandy Nugraha

Akademisi yang percaya bahwa humor, akal sehat, dan sedikit ngopi bisa membuat hidup lebih ringan. Fokus kajian pada manajemen, kepemimpinan, Pendidikan dan Pembelajaran. Menulis untuk menyampaikan yang berat dengan cara yang bersahabat. Sesekali menulis di antara tugas sebagai editor dan reviewer Jurnal utk mengoreksi artikel ilmiah serta sebagai ayah yang menemani anak-anaknya yang makin dewasa.

Kegiatan Juri Madrasah Award 2018