Senin, 14 Juli 2025

Seri ke-4 *Menghindari Kultus di Lembaga Pendidikan Islam: Kepemimpinan Partisipatif ala Islam*


Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Praktisi pendidikan, pegiat literasi, Peneliti dan Pengabdi pada lembaga pendidikan Islam Swasta, Dosen UIN SGD Bandung, dan ketua Umum Agerlip PP PGM Indonesia. Berpengalaman mengelola Jurnal Ilmiah Bereputasi. 

---000---
Ada satu fenomena yang kerap tak disadari tapi sangat merusak dalam lembaga pendidikan Islam: kultus individu. Seorang pimpinan lembaga pendidikan Islam baik formal dan nonformal, diposisikan begitu tinggi, nyaris tidak bisa disanggah. Semua kebijakan tergantung pada satu orang. Bila ia berhalangan, nyaris seluruh sistem berhenti. Jika ia diganti, banyak yang seakan kehilangan arah.

Kita menyebutnya pemimpin, padahal kadang ia menjelma seperti raja kecil. Ini bukan hanya problem struktural, tapi juga problem teologis dan pendidikan moral.

---000---

*Cak Nur dan Penolakan terhadap Pemimpin yang Tidak Bisa Dikritik*

Nurcholish Madjid dalam banyak tulisan dan ceramahnya menolak keras segala bentuk pengkultusan individu dalam Islam. Ia mengingatkan bahwa salah satu krisis besar dalam dunia Islam adalah ketika umat berhenti berpikir dan hanya mengikuti satu otoritas tunggal tanpa kritis.

|“Islam bukan agama kultus. Setiap Muslim dituntut berpikir, bersikap kritis, dan tidak terjerumus dalam penghambaan kepada manusia.”| (Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina)

Dalam konteks kepemimpinan pendidikan, peringatan ini menjadi sangat relevan. Lembaga pendidikan Islam yang sehat bukan yang bergantung pada satu figur, tapi yang membangun budaya partisipatif dan shared leadership, kepemimpinan yang dibagi, bukan dimonopoli.

---000---
*Bahaya Kultus dalam Sekolah*

Kultus bukan hanya terjadi ketika guru atau siswa memuja pemimpin sekolah secara verbal. Ia juga terjadi ketika:
1) Tidak ada mekanisme musyawarah yang berjalan;
2) Kritik dianggap pembangkangan;
3) Pujian terhadap pemimpin menjadi kewajiban sosial;
4) Semua kebijakan bersumber dari satu kepala tanpa diskusi terbuka

Kultus akan mematikan inisiatif guru, mengubur keberanian siswa, dan merusak suasana belajar. Sekolah berubah menjadi tempat seragam secara pikir dan perilaku. Tidak ada ruang berbeda pendapat, dan akhirnya, tidak ada proses belajar yang sejati.

---000---

*Islam Mendorong Kepemimpinan yang Terbuka*

Dalam Al-Qur’an, kita dapati prinsip dasar kepemimpinan Islam dalam firman Allah:

| “...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.”| (QS. Ali Imran [3]: 159)

Cak Nur mengaitkan ayat ini dengan tradisi demokrasi dalam Islam. Ia menyebut bahwa musyawarah adalah sarana utama untuk menghindari otoritarianisme dalam kepemimpinan.

| “Islam sejak awal menekankan prinsip musyawarah, karena dari situlah nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial tumbuh.”| (Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan)

---000---
*Membangun Kepemimpinan Partisipatif di Sekolah*

Kepemimpinan partisipatif bukan berarti semua orang harus sepakat dalam semua hal. Tapi ia membuka ruang agar setiap orang dilibatkan, dihargai pendapatnya, dan diberi ruang tumbuh.

Berikut prinsip-prinsip praktis yang bisa diterapkan:

1. Musyawarah dalam pengambilan kebijakan
Bentuk tim kerja dari guru dan staf yang aktif mengusulkan dan mengevaluasi kebijakan.

2. Forum kritik terbuka. Adakan sesi rutin di mana guru dan murid bisa memberi masukan kepada manajemen tanpa takut dihukum.


3. Rotasi dan regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan yang sehat tidak melekat seumur hidup pada satu orang. Ada ruang regenerasi dan distribusi tanggung jawab.

4. Hilangkan “zona eksklusif” pemimpin. Kepala sekolah bukan tokoh tak tersentuh. Ia harus hadir dalam ruang guru, ruang kelas, dan diskusi murid.

---000---

*Pemimpin yang Membebaskan, Bukan Mendominasi*

Cak Nur menegaskan bahwa Islam adalah agama pembebasan, termasuk dari penindasan struktural dan pemusatan otoritas.

|“Kekuasaan dalam Islam adalah amanah. Dan amanah berarti tanggung jawab sosial yang harus dijalankan secara terbuka dan adil.”| (Madjid, Nurcholish. 1997. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina)

Pemimpin di lembaga pendidikan Islam seharusnya tidak menciptakan ketergantungan, tapi membangun sistem yang bisa berjalan walaupun ia tidak hadir. Ia membimbing orang lain untuk bisa menggantikannya. Ia melatih, bukan menaklukkan. Ia memerdekakan, bukan menguasai.

---000---
*Penutup*

Pemimpin yang baik tidak dibentuk oleh banyaknya pujian, tetapi oleh kemampuannya mendengarkan, membuka ruang partisipasi, dan menjaga kepercayaan. Sekolah Islam yang sehat adalah sekolah yang demokratis, bukan feodal. Yang mendidik dengan nilai, bukan dengan ketakutan.

Maka jika kita ingin mewujudkan pendidikan Islam yang benar-benar membebaskan, langkah pertama adalah membebaskan lembaga kita dari pengkultusan, dan membangun kepemimpinan yang membagi peran, bukan menguasai peran. 

Dari semua uraian di atas, tidak berlebihan kiranya, jika Saya mengambil simpulan: Jika Anda ingin menjadi Pemimpin yang Tidak Tergantikan, maka Anda harus bisa digantikan. Tentang simpulan ini, tentu akan saya ulas pada pembahasan lain waktu.

Tidak ada komentar:

Seri ke-4 *Menghindari Kultus di Lembaga Pendidikan Islam: Kepemimpinan Partisipatif ala Islam*

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha Praktisi pendidikan, pegiat literasi, Peneliti dan Pengabdi pada lembaga pendidikan Islam Swasta, Dosen UIN ...