Jumat, 21 November 2025

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat



Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK

etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi

Direktur Research and Literacy Institute (RLI)

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung



Saya masih ingat, suatu pagi beberapa tahun lalu, saya tiba di sebuah madrasah di Sukabumi. Jam baru menunjukkan pukul tujuh, tapi halaman sekolah sudah ramai. Guru-guru menyambut siswa di gerbang, beberapa sedang memeriksa kebersihan kelas, sementara kepala sekolah berdiri di tengah lapangan dengan sapu di tangan. Ia tidak memberi perintah, tapi ikut bekerja. Ia menyapu halaman yang masih basah karena embun.

Pemandangan itu sederhana, tapi saya tahu itu bukan hal biasa. Banyak kepala sekolah memimpin dari ruangannya. Tapi di sini, pemimpin hadir di lapangan. Bukan hanya memberi instruksi, tapi menjadi contoh hidup tentang arti bekerja dengan hati. Di situlah saya belajar satu hal penting: budaya kerja positif tidak dimulai dari aturan atau slogan di dinding, tapi dari teladan seorang pemimpin.


Budaya kerja adalah ruh yang menggerakkan lembaga. Ia tidak tertulis di papan visi-misi, tapi hidup dalam perilaku sehari-hari. Dalam lembaga pendidikan Islam, budaya kerja seharusnya mencerminkan nilai-nilai dasar Islam: kejujuran, tanggung jawab, ketekunan, dan kasih sayang. Namun sering kali, nilai itu hanya menjadi retorika. Di atas kertas semua tampak ideal, tapi di lapangan, semangatnya tidak terasa.

Saya pernah mengunjungi sekolah lain yang fasilitasnya lengkap dan dikelola secara modern, tapi suasananya kaku. Guru datang terlambat, rapat dimulai molor, dan koordinasi antarbagian tidak terbangun. Kepala sekolahnya pandai berbicara tentang visi besar, tapi jarang turun ke lapangan. Sekolah itu terlihat rapi dari luar, tapi di dalamnya tidak ada energi positif. Semua berjalan karena kewajiban, bukan kesadaran.

Dari pengalaman itu saya belajar, budaya kerja positif tidak akan tumbuh bila pemimpinnya tidak konsisten memberi contoh. Dalam Islam, konsep kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tapi tentang tanggung jawab moral. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, kepemimpinan bukan hak istimewa, tapi amanah.


Kepemimpinan yang kuat bukan berarti keras atau dominan. Kekuatan sejati justru terletak pada kejelasan arah, integritas, dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan. Pemimpin yang kuat tahu kapan harus tegas, dan kapan harus mendengar. Ia tidak membangun kekuasaan dengan rasa takut, tapi dengan rasa percaya.

Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah atau pimpinan yayasan adalah pusat gravitasi. Ia mempengaruhi seluruh dinamika kerja, dari cara guru mengajar hingga semangat staf kebersihan menjalankan tugas. Seorang pemimpin yang datang tepat waktu, menghargai rapat, dan menepati janji, tanpa perlu bicara banyak pun sudah menanamkan budaya kerja positif.

Saya pernah berbicara dengan seorang guru di madrasah yang cukup maju di Jawa Tengah. Ia berkata, “Kami disiplin bukan karena takut, tapi karena malu pada kepala sekolah.” Saya tanya kenapa. Ia menjawab, “Karena beliau selalu datang paling pagi dan pulang paling akhir.” Bagi saya, itu kepemimpinan yang kuat. Tidak banyak bicara, tapi berpengaruh besar.


Budaya kerja positif tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia dibentuk oleh sistem, tapi dipelihara oleh manusia. Pemimpin yang ingin membangun budaya kerja sehat perlu memahami tiga hal penting: nilai, komunikasi, dan keteladanan.

Pertama, menegaskan nilai yang menjadi dasar bersama.
Lembaga pendidikan Islam harus berani menentukan nilai-nilai inti yang akan menjadi panduan perilaku. Misalnya, kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab. Nilai ini tidak cukup hanya diumumkan di awal tahun ajaran, tapi harus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Misalnya, guru yang terlambat tidak langsung ditegur, tapi diajak memahami makna amanah. Atau staf administrasi yang bekerja cepat diberi apresiasi terbuka agar yang lain terinspirasi.

Kedua, membangun komunikasi yang manusiawi.
Saya sering menemukan sekolah yang semua komunikasi bersifat satu arah. Kepala sekolah bicara, guru mendengarkan. Akibatnya, suasana kerja terasa seperti instruksi, bukan kolaborasi. Padahal, budaya kerja positif tumbuh dari percakapan yang jujur. Kepala sekolah perlu membuka ruang dialog, mendengar aspirasi guru, dan memberi umpan balik tanpa menghakimi.

Di satu sekolah Islam di Surabaya, setiap Jumat sore kepala sekolah mengadakan “ngopi bareng” dengan guru. Tidak ada agenda formal. Mereka bercerita tentang pengalaman di kelas, kadang juga curhat tentang beban kerja. Dari situ muncul banyak ide kecil yang kemudian menjadi inovasi besar. Kepala sekolahnya berkata, “Kalau kita mau sekolah sehat, mulai dari ngobrol yang sehat.”

Ketiga, menjadi teladan dalam hal etika dan semangat kerja.
Tidak ada budaya kerja positif tanpa keteladanan. Pemimpin yang ingin menegakkan disiplin harus terlebih dulu menunjukkan kedisiplinan. Pemimpin yang ingin menumbuhkan kejujuran harus berani jujur terhadap dirinya sendiri. Ini sejalan dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin ke-16 tentang tata kelola yang adil, transparan, dan berintegritas.

Kepemimpinan pendidikan Islam yang kuat sejalan dengan semangat SDGs: menciptakan institusi yang tangguh dan berkeadilan. Jika lembaga pendidikan Islam mampu menerapkan prinsip kepemimpinan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, maka budaya kerja positif akan tumbuh alami.


Tentu, membangun budaya kerja positif tidak terjadi dalam semalam. Ia butuh waktu dan konsistensi. Ada masa-masa di mana perubahan terasa lambat, bahkan menimbulkan resistensi. Guru bisa saja merasa lelah, staf bisa merasa diabaikan, dan kepala sekolah pun mungkin kehilangan semangat. Di saat seperti itu, pemimpin perlu kembali pada niat awal: untuk apa ia memimpin.

Saya pernah berbincang dengan seorang kepala madrasah yang hampir menyerah. Ia berkata, “Saya sudah berusaha menegakkan disiplin, tapi selalu ada yang melanggar. Saya jadi capek.” Saya menatapnya dan berkata pelan, “Mungkin karena mereka belum melihat makna di balik disiplin itu.” Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk.

Beberapa bulan kemudian, saya kembali ke madrasah itu. Ada perubahan kecil tapi nyata. Ia mulai mengganti cara pendekatannya. Setiap rapat ia mengawali dengan cerita inspiratif, bukan teguran. Ia berbagi kisah tentang nilai kerja keras, tentang niat, tentang barakah dalam pekerjaan. Perlahan, suasana kerja membaik. Guru mulai datang lebih awal, siswa lebih tertib, dan senyum lebih sering terlihat di wajah mereka.

Saya belajar dari situ, bahwa budaya kerja positif tidak dibangun dengan tekanan, tapi dengan makna. Ketika orang memahami alasan di balik aturan, mereka akan bekerja bukan karena takut, tapi karena sadar.


Ada satu kalimat yang saya suka dari John C. Maxwell, seorang pakar kepemimpinan. Ia berkata, “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” Pemimpin bukan hanya tahu arah, tapi juga berjalan dan menunjukkan jalan. Dalam lembaga pendidikan Islam, prinsip ini sangat relevan. Kepala sekolah bukan hanya pengelola, tapi juga pembentuk karakter lembaga.

Ia harus berani menegakkan nilai-nilai, menjaga keadilan, dan menginspirasi semua pihak untuk bekerja lebih baik. Kepemimpinan yang kuat tidak diukur dari seberapa keras ia berbicara, tapi seberapa dalam pengaruhnya terhadap perilaku orang-orang di sekitarnya.

Ketika pemimpin menjadi sumber energi positif, budaya kerja pun ikut bergerak. Guru bekerja dengan senang hati, staf administratif bekerja dengan rasa bangga, dan siswa belajar dalam suasana yang hangat. Semua itu tidak bisa dibeli atau diperintah. Ia tumbuh dari kepercayaan.


Saya percaya, lembaga pendidikan Islam yang ingin maju harus menempatkan pembangunan budaya kerja sebagai prioritas utama. Karena budaya kerja yang positif akan menghasilkan kinerja yang berkelanjutan. Sekolah yang memiliki semangat kolektif, disiplin yang manusiawi, dan komunikasi yang terbuka akan jauh lebih tangguh menghadapi tantangan zaman.

Apalagi di era pasca-pandemi ini, tantangan lembaga pendidikan semakin kompleks. Guru dituntut beradaptasi dengan teknologi, siswa menghadapi tekanan sosial yang lebih tinggi, dan orang tua menuntut hasil yang cepat. Di tengah tekanan itu, hanya budaya kerja yang positif yang bisa menjaga semangat kebersamaan.

SDGs menekankan pentingnya kerja layak dan pertumbuhan ekonomi (Goal 8), serta lembaga yang kuat dan damai (Goal 16). Dua poin itu bisa dimulai dari sekolah. Jika lembaga pendidikan Islam bisa membangun ekosistem kerja yang sehat, kolaboratif, dan berorientasi pada nilai, maka ia bukan hanya menjalankan ajaran Islam, tapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.


Saya sering merenung, bahwa inti dari budaya kerja positif adalah rasa memiliki. Ketika guru merasa sekolahnya adalah bagian dari dirinya, ia akan menjaga dengan sepenuh hati. Ketika pemimpin memperlakukan stafnya dengan hormat, mereka akan bekerja dengan semangat.

Dan semua itu bermula dari satu hal: kepemimpinan yang kuat, bukan dalam arti berkuasa, tapi dalam arti berjiwa besar. Pemimpin yang kuat adalah yang mampu menyalakan semangat, bukan sekadar menegakkan aturan. Ia hadir tidak untuk menaklukkan, tapi untuk menggerakkan.

Dalam pendidikan Islam, kekuatan sejati pemimpin tidak terletak pada posisi, tapi pada pengaruh kebaikannya. Karena sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, “Nilai seseorang diukur dari apa yang ia lakukan dengan kekuasaan yang dimilikinya.”

Maka, jika seorang kepala sekolah mampu menggunakan kekuasaannya untuk menumbuhkan budaya kerja yang positif, ia tidak hanya berhasil sebagai manajer, tapi juga sebagai pendidik sejati.

Dan mungkin, di sanalah letak keberkahan sebuah lembaga pendidikan Islam: ketika semua orang bekerja bukan karena takut, tapi karena cinta.

11 SDGs | Mewujudkan Madrasah ramah anak untuk semua

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 

Saya masih ingat satu pagi ketika saya datang lebih awal ke sebuah madrasah di pinggiran kota. Udara masih lembap. Suara anak-anak mulai terdengar dari kejauhan. Saya melihat seorang siswa duduk sendirian di pojok halaman. Ia memegang tasnya dengan erat seakan sedang menahan sesuatu. 

Ketika saya menghampirinya, ia hanya berkata pelan bahwa ia malas masuk kelas hari itu. Tidak ada penjelasan lain. Tatapannya cukup untuk membuat saya berpikir panjang tentang arti sebuah tempat belajar yang benar-benar aman dan nyaman bagi anak seusianya.

Saya kemudian mengobrol dengan beberapa guru. Mereka bilang anak itu memang sering menyendiri. Tidak pernah bermasalah. Tidak pernah membuat gaduh. Tetapi ia sering menjadi sasaran ejekan kecil yang sering dianggap sepele oleh teman-temannya.

 Mendengar itu saya terdiam. Saya sadar bahwa madrasah bisa tampak baik-baik saja dari luar. Namun bagi sebagian siswa, ruang kelas bisa terasa seperti tempat yang membuat mereka menahan napas sepanjang hari.

Saya berjalan menyusuri koridor sambil mencoba membayangkan apa yang dirasakan anak-anak yang tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Di koridor itu saya melihat beberapa guru tersenyum pada siswa yang lewat. Ada juga yang sedang terburu-buru menuju kelas. Suasana itu menenangkan. Tetapi saya tahu kenyamanan tidak hanya datang dari senyum guru. Kenyamanan lahir dari budaya yang mampu membuat anak merasa dirinya aman untuk menjadi dirinya sendiri.

Saya percaya bahwa kepemimpinan madrasah memegang kunci utama. Kepala madrasah yang peka biasanya mampu menangkap sinyal kecil sebelum masalah terjadi. Ia hadir bukan hanya di ruang rapat. Ia hadir di tengah anak-anak. Ia menyapa mereka seperti orang tua yang ingin memastikan semua anak baik-baik saja. Kehadiran seperti itu menular. Guru menjadi lebih hangat. Anak-anak lebih berani bercerita.

Saya pernah melihat perubahan besar di sebuah madrasah hanya karena kepala sekolahnya rutin mengadakan waktu khusus mendengarkan siswa. Sederhana saja. Sepuluh menit setiap pagi sebelum kelas dimulai. Siswa yang ingin bercerita boleh datang tanpa membuat janji. Saya menyaksikan bagaimana ruang kecil itu mengubah cara anak memandang sekolah. Banyak anak merasa lebih dihargai karena ada tempat untuk suara mereka.

Saya juga melihat betapa pentingnya membangun lingkungan fisik yang mendukung kenyamanan. Madrasah tidak harus megah. Tidak harus penuh ornament. Cukup bersih. Cukup terang. Cukup teratur. Ruang kelas yang rapi membuat anak lebih tenang. Taman kecil di pojok sekolah bisa menjadi tempat anak melepas penat. Hal-hal sederhana ini sering terabaikan, padahal dampaknya sangat besar untuk kesehatan mental siswa.

Ada satu kelas yang saya kunjungi pernah terasa begitu bising meski gurunya sudah berusaha keras mengatur. Setelah berdiskusi, kami mencoba menata ulang letak meja dan kursi. Ternyata perubahan kecil itu membuat anak lebih mudah fokus. Guru juga lebih mudah berinteraksi. Saya belajar bahwa rasa aman kadang muncul dari hal-hal teknis sederhana. Tidak selalu harus lewat regulasi besar.

SDG’s mengingatkan kita bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa tercapai bila anak berada dalam lingkungan yang aman. Aman dari kekerasan. Aman dari perundungan. Aman dari tekanan sosial yang tidak seharusnya mereka tanggung. Banyak lembaga pendidikan Islam sudah memahami ini. Namun sering kali mereka berhenti pada aturan tertulis. Padahal siswa membaca bahasa tubuh. Mereka melihat contoh. Mereka menilai suasana dengan intuisi yang lebih tajam dari yang kita bayangkan.

Saya pernah berbincang dengan seorang siswi yang awalnya sering menangis sepulang sekolah. Ternyata ia tidak nyaman dengan teman sebangkunya. Bukan karena konflik besar. Hanya karena temannya sering mengambil barangnya tanpa izin. Guru mengira itu hanya candaan. Namun bagi anak itu, hal kecil itu menimbulkan kecemasan yang terus menumpuk. Setelah guru memindahkan tempat duduknya, ia terlihat jauh lebih tenang. Dari situ saya belajar bahwa rasa aman bersifat sangat personal. Satu siswa mungkin baik-baik saja. Siswa yang lain mungkin sedang menahan sesuatu yang sulit ia jelaskan.

Madrasah bisa membangun rasa aman dengan memperkuat budaya saling menghormati. Guru perlu memberi contoh bagaimana berbicara dengan lembut. Teman sebaya perlu belajar melihat perasaan orang lain. Lingkungan seperti ini tidak tercipta dalam sehari. Ia tumbuh dari kebiasaan. Dari rutinitas yang dibentuk pelan-pelan. Dari keputusan sehari-hari yang menghargai martabat setiap anak.

Saya percaya lembaga pendidikan Islam memiliki modal spiritual yang kuat untuk membangun kenyamanan. Nilai kasih dan amanah sudah tertanam dalam ajaran agama. Kita hanya perlu menerjemahkannya menjadi tindakan yang konsisten. Misalnya dengan membiasakan guru membuka kelas dengan satu menit hening. Atau dengan mengajak siswa menutup pelajaran dengan doa yang membuat mereka merasa diperhatikan oleh guru.

Saya sering melihat perubahan besar datang dari guru yang mampu melihat lebih dalam. Guru yang sabar mendengarkan. Guru yang berani menegur dengan cara yang tidak melukai. Guru yang tahu kapan harus menahan suara dan kapan harus merangkul siswa yang rapuh. Guru seperti ini membuat madrasah terasa seperti rumah kedua.

Ketika madrasah berhasil menciptakan budaya aman, maka pembelajaran jadi lebih hidup. Anak-anak lebih aktif bertanya. Mereka lebih mudah bekerja sama. Mereka berani mencoba hal baru tanpa takut ditertawakan. Lingkungan yang nyaman memberi mereka kesempatan untuk berkembang secara utuh. Tidak hanya dalam aspek akademik. Tapi juga dalam karakter.

Saya selalu percaya bahwa madrasah bisa menjadi tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Nilai adab. Nilai saling menghormati. Nilai tanggung jawab. Tetapi semua itu butuh ruang yang aman. Tidak mungkin anak belajar tentang kasih sayang jika setiap hari mereka takut salah. Tidak mungkin mereka belajar percaya diri jika lingkungan tidak memberi kesempatan untuk tumbuh.

SDG’s menempatkan keamanan dan kenyamanan sebagai bagian penting dari pendidikan yang berkualitas. Madrasah yang aman berarti madrasah yang tidak menutup mata terhadap masalah kecil. Madrasah yang nyaman berarti madrasah yang menyiapkan ruang tumbuh bagi setiap anak tanpa terkecuali.

Saya membayangkan generasi muda yang tumbuh dari madrasah seperti itu. Mereka membawa lembutnya pengalaman belajar. Mereka membawa kemampuan memahami orang lain. Mereka tumbuh dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri karena mereka pernah berada di ruang yang menerima mereka apa adanya.

Saya yakin madrasah bisa menjadi tempat yang seperti itu. Tempat yang menjaga hati. Tempat yang memberi rasa aman. Tempat yang membuat anak datang setiap pagi dengan langkah yang ringan. Sebab ketika anak merasa aman, mereka akan belajar dengan penuh ketulusan. Dan ketika itu terjadi, pendidikan Islam benar-benar menjadi cahaya bagi kehidupan mereka.


____________
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2012. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah

Pahlawan Baru di Tengah Riuh Zaman


Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 


Hari Pahlawan lahir dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Hari itu, rakyat melawan pasukan bersenjata lengkap. Kota terbakar oleh keberanian. Banyak yang gugur, tapi semangat mereka menyalakan nyala yang tak padam: bahwa kemerdekaan hanya berarti jika ada keberanian untuk menjaganya. Karena itu, Hari Pahlawan bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan ajakan untuk menyalakan kembali nilai-nilai pengorbanan, keberanian, dan tanggung jawab.


Namun zaman berubah. Medan perjuangan tidak lagi di medan perang. Kini musuh bangsa tidak berbentuk tentara penjajah. Ia hadir dalam rupa yang lebih halus: korupsi kecil yang dianggap lumrah, berita palsu yang memecah warga, ketidakpedulian sosial, dan keengganan untuk berbuat baik tanpa pamrih. Di sinilah nilai kepahlawanan diuji dalam bentuk baru. Tidak dengan senjata, melainkan dengan kejujuran, kepedulian, dan konsistensi dalam hal-hal kecil.


Anda bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang memilih antre ketika banyak yang ingin diserobot. Ada yang menolak “uang pelicin” meski butuh. Ada yang tetap disiplin bekerja walau tidak diawasi. Tindakan kecil seperti itu mungkin tidak viral, tapi di situlah letak keberanian moral. Menjadi pahlawan kini berarti mampu melawan godaan untuk curang, sekalipun sistem seolah membiarkannya.


Di sisi lain, kepahlawanan masa kini juga hidup dalam gerakan merawat bumi. Anak muda membersihkan sungai, menanam pohon, atau mengurangi sampah plastik. Mereka sadar bumi sedang sakit, dan tanggung jawab memperbaikinya tidak bisa ditunda. Keberanian mereka adalah bentuk baru dari cinta tanah air. Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa sekop, sapu, dan kesadaran.


Lihat juga guru-guru di pelosok negeri. Mereka berjalan jauh, mengajar dengan alat seadanya, kadang tanpa listrik, tapi tetap datang setiap pagi. Mereka menyalakan harapan di mata anak-anak. Mereka mungkin tak masuk berita, tapi dari ruang kelas sederhana itulah masa depan bangsa disemai. Dalam ketulusan itu, Anda bisa melihat makna sejati dari pengabdian.


Tenaga kesehatan di puskesmas kecil pun menjalani hari-hari panjang dengan fasilitas terbatas. Mereka menambal luka, menenangkan pasien, dan menjaga kehidupan. Di tengah sistem yang kadang tidak adil, mereka memilih tetap bertahan. Keberanian seperti ini tidak heboh, tapi nyata.


Relawan bencana datang ke lokasi ketika yang lain menjauh. Mereka bekerja di tengah debu, banjir, atau longsor. Mereka tak selalu punya cukup logistik, tapi mereka punya niat untuk menolong. Mereka hadir sebagai wajah kemanusiaan. Setiap kali bencana datang, mereka menunjukkan bahwa bangsa ini masih punya hati yang hidup.


Di rumah, orang tua menjadi pelindung anak dari banjir informasi digital. Mereka mendampingi, mendengar, dan mengarahkan. Mereka tidak hanya menjaga anak agar pintar, tapi juga agar tetap manusiawi. Di tengah dunia yang sibuk mengejar kesuksesan, tugas seperti ini sering luput dari perhatian, padahal sangat menentukan.


Peneliti energi bersih bekerja dalam senyap di laboratorium. Mereka meneliti panel surya, baterai, dan teknologi ramah lingkungan. Mereka tahu bahwa kemandirian bangsa ditentukan oleh kemandirian energi. Mereka mungkin tidak memakai seragam tempur, tapi kerja keras mereka menentukan masa depan.


Anak muda yang melawan hoaks juga bagian dari barisan pahlawan baru. Mereka memeriksa data, meluruskan kabar palsu, dan menjaga agar masyarakat tetap rasional. Di tengah banjir informasi dan polarisasi politik, mereka menjaga api kebenaran agar tidak padam.


Pelaku UMKM berjuang tanpa banyak dukungan. Mereka membuka usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menopang ekonomi keluarga. Dalam kesederhanaan, mereka menolak menyerah. Mereka menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya soal perang, tapi juga soal bertahan hidup dengan jujur.


Pegiat literasi membuka ruang baca di kampung. Mereka meminjamkan buku, mengajak anak berdiskusi, dan menyalakan rasa ingin tahu. Mereka tahu perubahan besar dimulai dari kemampuan membaca dan berpikir. Dari ruang sempit itu, masa depan sedang disiapkan.


Nilai kepahlawanan di era sekarang bukanlah sesuatu yang jauh. Ia hidup di sekitar Anda. Di ruang kelas, puskesmas, laboratorium, warung kecil, dan perpustakaan sederhana. Kepahlawanan bukan lagi milik yang mati di medan perang, tapi milik mereka yang tetap hidup untuk memperbaiki keadaan, sedikit demi sedikit.


Peringatan Hari Pahlawan bukan ajakan untuk bernostalgia, melainkan undangan untuk introspeksi. Apakah Anda masih punya keberanian untuk jujur ketika mudah untuk menipu? Apakah Anda masih peduli ketika lingkungan rusak? Apakah Anda masih mau menolong tanpa disorot kamera?


Kepahlawanan sejati tidak memerlukan seremoni. Ia tumbuh dalam kesadaran bahwa hidup ini bernilai jika memberi manfaat. Jadi, di tengah riuh zaman, ketika segala hal bergerak cepat dan banyak orang sibuk mencari perhatian, Anda bisa memilih jalan sebaliknya. Jalan yang tenang, sederhana, tapi penuh makna. Jalan orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, berbuat tanpa suara, dan mencintai tanpa syarat.


Mereka inilah pahlawan baru di tengah riuh zaman. Dan siapa pun bisa menjadi bagian dari mereka, mulai dari langkah kecil yang Anda ambil hari ini.

----

Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah

Menjadi pahlawan baru di era kekinian


Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 


Hari Pahlawan lahir dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kota itu terbakar oleh tekad mempertahankan martabat sebagai bangsa merdeka. Banyak yang gugur. Banyak yang terluka. Namun dari keberanian itu, lahirlah satu pesan yang terus hidup: ada saat ketika seseorang perlu berdiri, meskipun hasilnya tidak pasti. Semangat ini yang ingin diingat setiap tahun.

Ketika Anda melihat ke masa kini, medan perjuangan bergeser. Tidak ada dentuman meriam. Tantangannya lebih senyap. Banyak hadir dalam bentuk pilihan kecil yang terjadi setiap hari. Anda mungkin tidak menyadarinya. Tapi di situlah ruang nilai kepahlawanan diuji.

Anda melihatnya saat seseorang memilih jujur meski tidak ada yang melihat. Saat seseorang tetap antre meskipun ada peluang mempercepat proses lewat jalan yang tidak benar. Langkah kecil ini terasa sederhana, tetapi menahan diri seperti itu membutuhkan keberanian batin. Keberanian semacam ini tidak selalu mendapat tepuk tangan. Namun justru itu yang membuatnya berarti.

Lingkungan juga menjadi ruang ujian zaman ini. Sungai kotor, udara berdebu, dan sampah plastik menumpuk. Di tengah kondisi ini, anak-anak muda memilih turun tangan. Mereka membersihkan sungai, menanam pohon, dan mengurangi sampah sekali pakai. Mereka tidak menunggu instruksi. Mereka bergerak karena merasa bertanggung jawab. Dari sana, Anda melihat bahwa kepahlawanan hari ini sering lahir dari kesadaran, bukan perintah.

Di sekolah terpencil, guru tetap hadir meski fasilitasnya terbatas. Ada yang berjalan jauh. Ada yang mengajar di ruang yang tidak layak. Mereka jarang disorot. Namun banyak masa depan dibentuk di ruang kelas kecil itu. Komitmen seperti ini lahir dari keyakinan bahwa setiap anak punya hak belajar yang sama. Anda tidak bisa mengabaikan nilai kemanusiaan yang bekerja di balik pengorbanan mereka.

Tenaga kesehatan di puskesmas kecil juga menjaga kehidupan dalam diam. Mereka bekerja dengan alat seadanya. Mereka sering menjadi tempat pertama dan terakhir yang mencari pertolongan. Mereka tetap hadir meski kelelahan. Anda bisa melihat bahwa keberanian tidak selalu muncul dalam situasi dramatis. Kadang ia tumbuh dari rutinitas yang dijalani dengan hati yang teguh.

Relawan bencana datang ketika banyak orang menjauh. Mereka mengangkat, mengevakuasi, memeluk warga yang panik. Mereka bekerja di antara puing dan lumpur. Indonesia hidup berdampingan dengan risiko bencana. Karena itu, kehadiran relawan selalu membuat orang merasa tidak sendirian. Dalam wajah mereka, Anda melihat bentuk kasih sayang yang paling nyata.

Di rumah, orang tua mendampingi anak menghadapi banjir informasi digital. Mereka menjaga agar anak tetap waras di tengah dunia yang cepat. Tidak ada sorotan kamera, tetapi banyak pembentukan karakter terjadi di tengah percakapan kecil sebelum tidur. Tugas ini sunyi, tetapi berat.

Peneliti energi bersih bekerja tanpa banyak sorotan. Mereka mencoba hal yang sama ratusan kali hingga satu percobaan membuahkan hasil. Upaya ini memberi harapan bahwa bangsa bisa mandiri energi. Di ruang laboratorium yang sepi itu, mereka menyiapkan masa depan yang lebih stabil.

Anak muda yang melawan hoaks juga menjadi penjaga akal sehat publik. Mereka memeriksa data, membetulkan informasi, dan menolak ikut arus yang membingungkan masyarakat. Ini tugas yang melelahkan. Namun mereka tetap melakukannya karena mereka tahu bahwa kebenaran perlu pembela.

Pada saat yang sama, pelaku UMKM tetap bertahan meski ekonomi sering tidak ramah. Mereka membuka usaha kecil. Mereka menciptakan pekerjaan baru. Mereka berjuang untuk keluarganya. Dari mereka lahir ketahanan ekonomi yang membuat banyak orang tetap bisa makan.

Pegiat literasi membuka ruang baca kecil di kampung. Mereka meminjamkan buku, mengajak anak berdiskusi, dan memberi ruang aman untuk bertanya. Dari tempat sederhana itu, Anda melihat bahwa masa depan bangsa kadang tumbuh dari ruangan sempit dengan rak buku seadanya.

Menghidupkan nilai kepahlawanan di era sekarang bukan soal menunggu momen besar. Anda cukup memilih satu tindakan yang membuat hidup orang lain lebih ringan. Anda berkata jujur meski tidak ada yang memaksa. Anda membantu orang tanpa berharap balas. Anda merawat lingkungan. Anda menjaga nalar publik. Anda melindungi anak dari tekanan digital.

Setiap tindakan itu mungkin kecil. Namun setiap bangsa berdiri dari hal-hal kecil yang dilakukan banyak orang secara konsisten. Hari Pahlawan tidak meminta Anda menjadi seperti mereka yang gugur di 1945. Hari ini hanya meminta Anda bertanya pada diri sendiri: langkah apa yang bisa Anda ambil agar dunia di sekitar Anda sedikit lebih baik.

Jika Anda ingin versi yang lebih panjang atau ingin menyesuaikan untuk media tertentu, saya bisa bantu lanjutkan.

----
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah

Syukur yang Membentuk Pahlawan di Sekitar Kita

Oleh: *Mulyawan Safwandy Nugraha*

Setiap 10 November, saya selalu teringat cerita yang ayah saya ulang sejak kecil. Beliau bilang, kemerdekaan ini bukan datang tiba-tiba. Ada banyak orang yang menahan takut. Ada yang meninggalkan rumah. Ada yang tidak kembali. Dulu saya hanya mendengar sambil lalu. Tapi semakin bertambah umur, saya mulai merasa cerita itu bukan sekadar kisah masa lalu. Itu ajakan agar saya melihat hidup ini dengan rasa syukur. Allah memberi kita kemerdekaan melalui tangan banyak hamba yang dipilih. Kita tinggal meneruskan amanahnya.

Saat membaca lagi surat Ali Imran ayat 169, saya merasa ayat itu menegur saya secara pribadi. Allah bilang bahwa mereka yang gugur di jalan kebaikan itu hidup di sisi-Nya. Ayat itu membuat saya sadar bahwa keberanian selalu punya tempat khusus. Rasulullah juga pernah menyampaikan bahwa manusia terbaik adalah yang paling membawa manfaat. Kalimat ini terdengar sederhana. Tapi makin sering saya renungi, semakin terasa berat tanggung jawabnya.

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi seorang guru di daerah pinggiran Sukabumi. Ruang kelasnya kecil. Kursinya tidak sama tinggi. Tapi beliau mengajar dengan semangat seperti sedang mengajar di sekolah terbaik. Saya duduk sebentar di pojok ruangan. Melihat beliau menenangkan murid yang menangis. Mengajak yang lain membaca iqra. Di situ, saya merasa sedang melihat rahmat Allah bekerja lewat seseorang yang mungkin tidak pernah disebut di berita. Saya pulang dengan rasa malu. Juga rasa syukur.

Di puskesmas kecil, saya pernah menemani saudara yang berobat. Tenaga kesehatannya bekerja tanpa banyak alat. Tapi mereka tetap ramah. Tetap sabar. Saya melihat seorang perawat yang tidak berhenti tersenyum sejak pagi. Saya tanya, apa tidak lelah. Beliau hanya bilang, semua orang datang ke sini karena sedang kesulitan. Kalau saya ikut murung, siapa yang menguatkan mereka. Saya merasa itu kalimat yang sederhana tapi berat. Kadang orang seperti ini membuat saya kembali ingat bahwa Allah menolong manusia lewat tangan manusia lain.

Pernah juga saya bertemu relawan bencana. Waktu itu tanah longsor menutup akses jalan. Mereka baru turun dari lokasi evakuasi. Tubuh mereka penuh lumpur. Tapi wajah mereka seperti orang yang baru saja mendapat hadiah. Mereka bilang, selama ada orang yang berhasil diselamatkan, semua lelah hilang. Saya pulang sambil terdiam. Umar bin Khattab pernah berkata bahwa siapa pun yang membantu orang lain, ia sedang membantu dirinya sendiri di hadapan Allah. Saya melihat makna itu dalam wajah para relawan.

Orang tua saya sendiri menjadi pengingat lain tentang syukur. Mereka mendidik kami tanpa teori panjang. Mereka hanya memastikan rumah tetap menjadi tempat kami belajar tentang iman dan tanggung jawab. Saya masih ingat ibu menutup gawai saya saat saya mulai kecanduan layar. Beliau bilang, hati itu mudah kosong. Jangan biarkan kosong terlalu lama. Nasihat itu baru terasa setelah dewasa.

Beberapa teman saya bekerja di bidang energi bersih. Mereka sering bercerita tentang penelitian yang gagal berhari-hari. Tapi mereka terus ulangi. Mereka bilang bangsa ini butuh energi yang lebih sehat. Saya melihat kerja keras itu sebagai bentuk ibadah. Dalam Alquran, Allah memuji orang yang menimbang akibat dari tindakan. Saya merasa penelitian mereka termasuk dalam nasihat itu.

Saya juga menyaksikan anak muda yang setiap hari memeriksa kabar palsu di media sosial. Mereka rela menelusuri data agar masyarakat tidak terperangkap fitnah. Saya pernah duduk bersama salah satu dari mereka. Katanya, kalau tidak ada yang menjaga kebenaran, masyarakat bisa rusak. Kalimat itu terdengar berat, tapi memang benar.

UMKM di sekitar rumah saya juga memberi pelajaran sendiri. Mereka bangun toko dini hari. Mereka layani pelanggan dengan jujur. Mereka bertahan meski pendapatan naik turun. Rasulullah pernah memuliakan pedagang yang jujur. Saat melihat mereka, saya merasa sedang melihat orang yang diam-diam menjalankan sabda itu.

Saya beberapa kali mampir ke taman bacaan kecil yang dikelola teman saya di kampung. Rak bukunya tidak banyak. Tapi anak-anak datang dengan mata berbinar. Teman saya bilang, kalau satu anak saja membaca dengan senang, itu sudah cukup. Ibnu Mas’ud pernah bilang bahwa kebodohan adalah gelap yang panjang. Saya melihat taman bacaan kecil itu sebagai lampu kecil yang Allah titipkan kepada seseorang yang bersedia menyalakannya.

Semua pengalaman kecil ini membuat saya merasa bahwa pahlawan tidak selalu lahir dari situasi besar. Banyak pahlawan hadir dalam hidup kita setiap hari. Mereka tidak pakai seragam. Mereka tidak pidato. Mereka hanya melakukan kebaikan karena hatinya terpanggil. Ketika Allah menitipkan kebaikan pada seseorang, hasilnya selalu terasa. Anda tinggal melihat lebih dekat.

Hari Pahlawan mengajak kita berhenti sebentar. Mengingat bahwa apa pun yang kita miliki hari ini adalah bagian dari rahmat Allah. Juga hasil kerja banyak orang yang mungkin tidak pernah kita kenal. Tugas kita sederhana. Jangan biarkan amanah itu berhenti di tangan kita. Lanjutkan dengan langkah kecil. Dengan kejujuran. Dengan bantu orang yang sedang kesulitan. Dengan menjaga akal sehat dan lingkungan.

Jika langkah itu dilakukan dengan hati yang bersyukur, mungkin di mata orang lain itu kecil. Tapi di sisi Allah, bisa jadi itu lebih besar dari yang kita kira.

-----
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Wakil ketua Tanfidziah PCNU Kota Sukabumi. Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah


Jejak Sunyi KH Ahmad Sanusi dan Cara Kita Menjadi Pahlawan Hari Ini



Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 


Saya selalu merasa ada yang berbeda setiap melewati kawasan Gunungpuyuh, Sukabumi. Udara terasa lebih tenang. Jalanan tidak terlalu bising. Di tengah suasana itu, saya sering teringat satu nama yang lahir dari kota kecil ini. KH Ahmad Sanusi. Ulama. Pejuang. Pendidik. Sosok yang memilih jalan berat pada zamannya. Saya tumbuh besar tanpa benar-benar mengenalnya. Baru setelah dewasa saya mulai membaca kisahnya. Rasanya seperti menemukan kembali ruang sejarah yang selama ini lewat begitu saja.


Beliau pernah dipenjara kolonial karena gagasan. Pernah diasingkan ke Nusakambangan karena tulisan yang dianggap menggerakkan rakyat. Saya membayangkan malam-malam panjangnya. Sunyi. Gelap. Tidak ada jaminan esok akan lebih baik. Tapi beliau tetap menulis. Tetap mengajar. Tetap menyalakan harapan orang-orang di sekelilingnya. Dalam satu catatan, ia mengatakan bahwa ilmu harus dibawa ke mana saja, bahkan ketika berada dalam tekanan. Saya membaca itu pelan-pelan sambil menelan ludah. Rasanya seperti menampar kesadaran saya sendiri.


Saya teringat pada satu ayat. Allah berfirman bahwa Dia akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu. Ayat itu terasa dekat ketika membayangkan perjuangan KH Sanusi. Beliau tidak membawa senjata. Beliau membawa ilmu yang hidup. Ilmu yang membuat rakyat berani berdiri tegak. Dari hadits, saya juga ingat pesan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Saya merasa dua pesan itu menyatu dalam dirinya. Tidak bising. Tidak banyak bicara. Tapi dampaknya sampai hari ini.


Kadang saya bertanya pada diri sendiri. Bagaimana caranya kita menghormati pahlawan seperti beliau. Apakah cukup dengan mengingat tanggal. Membuat spanduk. Atau menulis satu dua kalimat di media sosial. Jawabannya tidak sederhana. Saya yakin kita menghormati mereka dengan memperbaiki diri. Dengan menghidupkan nilai yang mereka jaga. Nilai kejujuran. Ketabahan. Keberanian mengambil sikap saat banyak orang memilih diam.


Saya sering merasa malu. Kita hidup lebih nyaman. Kita punya banyak fasilitas. Kita bebas berbicara. Tapi kadang kita takut bersuara ketika melihat ketidakadilan. Takut dianggap berbeda. Takut tidak diterima. Padahal para pahlawan dulu justru memilih risiko itu. Mereka tidak menunggu situasi aman. Mereka bergerak karena merasa ini tanggung jawab. Saya membatin, mungkin inilah jarak paling besar antara kita dan mereka.


Namun saya juga percaya setiap zaman punya medan juangnya sendiri. Hari ini kita tidak berperang di Surabaya. Kita tidak dibuang ke Nusakambangan. Tapi kita menghadapi godaan korupsi. Informasi yang simpang siur. Konflik di sekolah. Keretakan sosial. Lingkungan yang rusak. Kebiasaan menyalahkan tanpa mau memperbaiki. Tantangan ini tidak kecil. Butuh keberanian juga. Sama seperti keberanian menolak tunduk pada kolonial.


Di ruang kerja saya, ada foto lama KH Ahmad Sanusi yang saya cetak kecil. Gambarnya agak buram. Saya sengaja tidak menggantinya. Setiap melihatnya, saya seperti diajak kembali ke nilai paling sederhana. Anda tidak harus sempurna untuk memberi manfaat. Anda cukup jujur. Tulus. Mau belajar. Mau berbuat. Satu langkah kecil bisa jadi cahaya untuk orang lain. Saya mengingat pesan Imam Al Ghazali. Beliau pernah menulis bahwa seseorang baru benar-benar hidup saat ia hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya.


Sukabumi punya warisan itu. Bukan hanya bangunan. Tapi teladan. Saya ingin menulis ini dengan rasa syukur. Allah menghadirkan orang-orang pilihan seperti KH Ahmad Sanusi. Allah memberi bangsa ini contoh nyata bahwa perjuangan tidak selalu terlihat heroik. Kadang justru hadir lewat kesabaran panjang. Lewat bacaan malam. Lewat tangan yang terus menulis. Lewat suara yang tetap lembut meskipun tekanan datang bertubi-tubi.


Setiap kali Hari Pahlawan tiba, saya tidak lagi sibuk mencari quote motivasi. Saya cukup bertanya pada diri sendiri. Apa yang bisa saya perbaiki hari ini. Apa yang bisa Anda perbaiki hari ini. Mungkin ini cara paling sederhana menjaga warisan Sukabumi. Warisan seorang ulama yang hidupnya tidak mencari sorotan. Tapi justru memberi cahaya untuk banyak orang. Jika kita bisa menjaga satu nilai saja dari teladannya, saya rasa itu sudah langkah kecil yang berarti.


Itulah cara saya mengenang KH Ahmad Sanusi. Di tengah hidup yang serba cepat ini, saya ingin tetap ingat bahwa sejarah bangsa ini pernah dijaga oleh orang-orang yang berjalan pelan tapi pasti. Orang-orang yang yakin kebaikan tidak selalu butuh panggung. Saya berharap tulisan sederhana ini bisa membuat Anda berhenti sejenak. Menarik napas. Merenung. Dan merasa lebih dekat dengan nilai yang pernah beliau jaga.


--------

Mulyawan Safwandy Nugraha, pegiat literasi dan Direktur Research and Literacy Institute (RLI), Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan berkhidmat sebagai staf pengajar di program Pascasarjana institut KH. Ahmad Sanusi Sukabumi (Inkhas).

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi Direktur Research and Literacy Institute (RLI) Dosen UIN Sunan Gunung D...