Jumat, 21 November 2025

Jejak Sunyi KH Ahmad Sanusi dan Cara Kita Menjadi Pahlawan Hari Ini



Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 


Saya selalu merasa ada yang berbeda setiap melewati kawasan Gunungpuyuh, Sukabumi. Udara terasa lebih tenang. Jalanan tidak terlalu bising. Di tengah suasana itu, saya sering teringat satu nama yang lahir dari kota kecil ini. KH Ahmad Sanusi. Ulama. Pejuang. Pendidik. Sosok yang memilih jalan berat pada zamannya. Saya tumbuh besar tanpa benar-benar mengenalnya. Baru setelah dewasa saya mulai membaca kisahnya. Rasanya seperti menemukan kembali ruang sejarah yang selama ini lewat begitu saja.


Beliau pernah dipenjara kolonial karena gagasan. Pernah diasingkan ke Nusakambangan karena tulisan yang dianggap menggerakkan rakyat. Saya membayangkan malam-malam panjangnya. Sunyi. Gelap. Tidak ada jaminan esok akan lebih baik. Tapi beliau tetap menulis. Tetap mengajar. Tetap menyalakan harapan orang-orang di sekelilingnya. Dalam satu catatan, ia mengatakan bahwa ilmu harus dibawa ke mana saja, bahkan ketika berada dalam tekanan. Saya membaca itu pelan-pelan sambil menelan ludah. Rasanya seperti menampar kesadaran saya sendiri.


Saya teringat pada satu ayat. Allah berfirman bahwa Dia akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu. Ayat itu terasa dekat ketika membayangkan perjuangan KH Sanusi. Beliau tidak membawa senjata. Beliau membawa ilmu yang hidup. Ilmu yang membuat rakyat berani berdiri tegak. Dari hadits, saya juga ingat pesan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Saya merasa dua pesan itu menyatu dalam dirinya. Tidak bising. Tidak banyak bicara. Tapi dampaknya sampai hari ini.


Kadang saya bertanya pada diri sendiri. Bagaimana caranya kita menghormati pahlawan seperti beliau. Apakah cukup dengan mengingat tanggal. Membuat spanduk. Atau menulis satu dua kalimat di media sosial. Jawabannya tidak sederhana. Saya yakin kita menghormati mereka dengan memperbaiki diri. Dengan menghidupkan nilai yang mereka jaga. Nilai kejujuran. Ketabahan. Keberanian mengambil sikap saat banyak orang memilih diam.


Saya sering merasa malu. Kita hidup lebih nyaman. Kita punya banyak fasilitas. Kita bebas berbicara. Tapi kadang kita takut bersuara ketika melihat ketidakadilan. Takut dianggap berbeda. Takut tidak diterima. Padahal para pahlawan dulu justru memilih risiko itu. Mereka tidak menunggu situasi aman. Mereka bergerak karena merasa ini tanggung jawab. Saya membatin, mungkin inilah jarak paling besar antara kita dan mereka.


Namun saya juga percaya setiap zaman punya medan juangnya sendiri. Hari ini kita tidak berperang di Surabaya. Kita tidak dibuang ke Nusakambangan. Tapi kita menghadapi godaan korupsi. Informasi yang simpang siur. Konflik di sekolah. Keretakan sosial. Lingkungan yang rusak. Kebiasaan menyalahkan tanpa mau memperbaiki. Tantangan ini tidak kecil. Butuh keberanian juga. Sama seperti keberanian menolak tunduk pada kolonial.


Di ruang kerja saya, ada foto lama KH Ahmad Sanusi yang saya cetak kecil. Gambarnya agak buram. Saya sengaja tidak menggantinya. Setiap melihatnya, saya seperti diajak kembali ke nilai paling sederhana. Anda tidak harus sempurna untuk memberi manfaat. Anda cukup jujur. Tulus. Mau belajar. Mau berbuat. Satu langkah kecil bisa jadi cahaya untuk orang lain. Saya mengingat pesan Imam Al Ghazali. Beliau pernah menulis bahwa seseorang baru benar-benar hidup saat ia hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya.


Sukabumi punya warisan itu. Bukan hanya bangunan. Tapi teladan. Saya ingin menulis ini dengan rasa syukur. Allah menghadirkan orang-orang pilihan seperti KH Ahmad Sanusi. Allah memberi bangsa ini contoh nyata bahwa perjuangan tidak selalu terlihat heroik. Kadang justru hadir lewat kesabaran panjang. Lewat bacaan malam. Lewat tangan yang terus menulis. Lewat suara yang tetap lembut meskipun tekanan datang bertubi-tubi.


Setiap kali Hari Pahlawan tiba, saya tidak lagi sibuk mencari quote motivasi. Saya cukup bertanya pada diri sendiri. Apa yang bisa saya perbaiki hari ini. Apa yang bisa Anda perbaiki hari ini. Mungkin ini cara paling sederhana menjaga warisan Sukabumi. Warisan seorang ulama yang hidupnya tidak mencari sorotan. Tapi justru memberi cahaya untuk banyak orang. Jika kita bisa menjaga satu nilai saja dari teladannya, saya rasa itu sudah langkah kecil yang berarti.


Itulah cara saya mengenang KH Ahmad Sanusi. Di tengah hidup yang serba cepat ini, saya ingin tetap ingat bahwa sejarah bangsa ini pernah dijaga oleh orang-orang yang berjalan pelan tapi pasti. Orang-orang yang yakin kebaikan tidak selalu butuh panggung. Saya berharap tulisan sederhana ini bisa membuat Anda berhenti sejenak. Menarik napas. Merenung. Dan merasa lebih dekat dengan nilai yang pernah beliau jaga.


--------

Mulyawan Safwandy Nugraha, pegiat literasi dan Direktur Research and Literacy Institute (RLI), Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan berkhidmat sebagai staf pengajar di program Pascasarjana institut KH. Ahmad Sanusi Sukabumi (Inkhas).

Tidak ada komentar:

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi Direktur Research and Literacy Institute (RLI) Dosen UIN Sunan Gunung D...