Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Saya masih ingat satu pagi ketika saya datang lebih awal ke sebuah madrasah di pinggiran kota. Udara masih lembap. Suara anak-anak mulai terdengar dari kejauhan. Saya melihat seorang siswa duduk sendirian di pojok halaman. Ia memegang tasnya dengan erat seakan sedang menahan sesuatu.
Ketika saya menghampirinya, ia hanya berkata pelan bahwa ia malas masuk kelas hari itu. Tidak ada penjelasan lain. Tatapannya cukup untuk membuat saya berpikir panjang tentang arti sebuah tempat belajar yang benar-benar aman dan nyaman bagi anak seusianya.
Saya kemudian mengobrol dengan beberapa guru. Mereka bilang anak itu memang sering menyendiri. Tidak pernah bermasalah. Tidak pernah membuat gaduh. Tetapi ia sering menjadi sasaran ejekan kecil yang sering dianggap sepele oleh teman-temannya.
Mendengar itu saya terdiam. Saya sadar bahwa madrasah bisa tampak baik-baik saja dari luar. Namun bagi sebagian siswa, ruang kelas bisa terasa seperti tempat yang membuat mereka menahan napas sepanjang hari.
Saya berjalan menyusuri koridor sambil mencoba membayangkan apa yang dirasakan anak-anak yang tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Di koridor itu saya melihat beberapa guru tersenyum pada siswa yang lewat. Ada juga yang sedang terburu-buru menuju kelas. Suasana itu menenangkan. Tetapi saya tahu kenyamanan tidak hanya datang dari senyum guru. Kenyamanan lahir dari budaya yang mampu membuat anak merasa dirinya aman untuk menjadi dirinya sendiri.
Saya percaya bahwa kepemimpinan madrasah memegang kunci utama. Kepala madrasah yang peka biasanya mampu menangkap sinyal kecil sebelum masalah terjadi. Ia hadir bukan hanya di ruang rapat. Ia hadir di tengah anak-anak. Ia menyapa mereka seperti orang tua yang ingin memastikan semua anak baik-baik saja. Kehadiran seperti itu menular. Guru menjadi lebih hangat. Anak-anak lebih berani bercerita.
Saya pernah melihat perubahan besar di sebuah madrasah hanya karena kepala sekolahnya rutin mengadakan waktu khusus mendengarkan siswa. Sederhana saja. Sepuluh menit setiap pagi sebelum kelas dimulai. Siswa yang ingin bercerita boleh datang tanpa membuat janji. Saya menyaksikan bagaimana ruang kecil itu mengubah cara anak memandang sekolah. Banyak anak merasa lebih dihargai karena ada tempat untuk suara mereka.
Saya juga melihat betapa pentingnya membangun lingkungan fisik yang mendukung kenyamanan. Madrasah tidak harus megah. Tidak harus penuh ornament. Cukup bersih. Cukup terang. Cukup teratur. Ruang kelas yang rapi membuat anak lebih tenang. Taman kecil di pojok sekolah bisa menjadi tempat anak melepas penat. Hal-hal sederhana ini sering terabaikan, padahal dampaknya sangat besar untuk kesehatan mental siswa.
Ada satu kelas yang saya kunjungi pernah terasa begitu bising meski gurunya sudah berusaha keras mengatur. Setelah berdiskusi, kami mencoba menata ulang letak meja dan kursi. Ternyata perubahan kecil itu membuat anak lebih mudah fokus. Guru juga lebih mudah berinteraksi. Saya belajar bahwa rasa aman kadang muncul dari hal-hal teknis sederhana. Tidak selalu harus lewat regulasi besar.
SDG’s mengingatkan kita bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa tercapai bila anak berada dalam lingkungan yang aman. Aman dari kekerasan. Aman dari perundungan. Aman dari tekanan sosial yang tidak seharusnya mereka tanggung. Banyak lembaga pendidikan Islam sudah memahami ini. Namun sering kali mereka berhenti pada aturan tertulis. Padahal siswa membaca bahasa tubuh. Mereka melihat contoh. Mereka menilai suasana dengan intuisi yang lebih tajam dari yang kita bayangkan.
Saya pernah berbincang dengan seorang siswi yang awalnya sering menangis sepulang sekolah. Ternyata ia tidak nyaman dengan teman sebangkunya. Bukan karena konflik besar. Hanya karena temannya sering mengambil barangnya tanpa izin. Guru mengira itu hanya candaan. Namun bagi anak itu, hal kecil itu menimbulkan kecemasan yang terus menumpuk. Setelah guru memindahkan tempat duduknya, ia terlihat jauh lebih tenang. Dari situ saya belajar bahwa rasa aman bersifat sangat personal. Satu siswa mungkin baik-baik saja. Siswa yang lain mungkin sedang menahan sesuatu yang sulit ia jelaskan.
Madrasah bisa membangun rasa aman dengan memperkuat budaya saling menghormati. Guru perlu memberi contoh bagaimana berbicara dengan lembut. Teman sebaya perlu belajar melihat perasaan orang lain. Lingkungan seperti ini tidak tercipta dalam sehari. Ia tumbuh dari kebiasaan. Dari rutinitas yang dibentuk pelan-pelan. Dari keputusan sehari-hari yang menghargai martabat setiap anak.
Saya percaya lembaga pendidikan Islam memiliki modal spiritual yang kuat untuk membangun kenyamanan. Nilai kasih dan amanah sudah tertanam dalam ajaran agama. Kita hanya perlu menerjemahkannya menjadi tindakan yang konsisten. Misalnya dengan membiasakan guru membuka kelas dengan satu menit hening. Atau dengan mengajak siswa menutup pelajaran dengan doa yang membuat mereka merasa diperhatikan oleh guru.
Saya sering melihat perubahan besar datang dari guru yang mampu melihat lebih dalam. Guru yang sabar mendengarkan. Guru yang berani menegur dengan cara yang tidak melukai. Guru yang tahu kapan harus menahan suara dan kapan harus merangkul siswa yang rapuh. Guru seperti ini membuat madrasah terasa seperti rumah kedua.
Ketika madrasah berhasil menciptakan budaya aman, maka pembelajaran jadi lebih hidup. Anak-anak lebih aktif bertanya. Mereka lebih mudah bekerja sama. Mereka berani mencoba hal baru tanpa takut ditertawakan. Lingkungan yang nyaman memberi mereka kesempatan untuk berkembang secara utuh. Tidak hanya dalam aspek akademik. Tapi juga dalam karakter.
Saya selalu percaya bahwa madrasah bisa menjadi tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Nilai adab. Nilai saling menghormati. Nilai tanggung jawab. Tetapi semua itu butuh ruang yang aman. Tidak mungkin anak belajar tentang kasih sayang jika setiap hari mereka takut salah. Tidak mungkin mereka belajar percaya diri jika lingkungan tidak memberi kesempatan untuk tumbuh.
SDG’s menempatkan keamanan dan kenyamanan sebagai bagian penting dari pendidikan yang berkualitas. Madrasah yang aman berarti madrasah yang tidak menutup mata terhadap masalah kecil. Madrasah yang nyaman berarti madrasah yang menyiapkan ruang tumbuh bagi setiap anak tanpa terkecuali.
Saya membayangkan generasi muda yang tumbuh dari madrasah seperti itu. Mereka membawa lembutnya pengalaman belajar. Mereka membawa kemampuan memahami orang lain. Mereka tumbuh dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri karena mereka pernah berada di ruang yang menerima mereka apa adanya.
Saya yakin madrasah bisa menjadi tempat yang seperti itu. Tempat yang menjaga hati. Tempat yang memberi rasa aman. Tempat yang membuat anak datang setiap pagi dengan langkah yang ringan. Sebab ketika anak merasa aman, mereka akan belajar dengan penuh ketulusan. Dan ketika itu terjadi, pendidikan Islam benar-benar menjadi cahaya bagi kehidupan mereka.
____________
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2012. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar