Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Hari Pahlawan lahir dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kota itu terbakar oleh tekad mempertahankan martabat sebagai bangsa merdeka. Banyak yang gugur. Banyak yang terluka. Namun dari keberanian itu, lahirlah satu pesan yang terus hidup: ada saat ketika seseorang perlu berdiri, meskipun hasilnya tidak pasti. Semangat ini yang ingin diingat setiap tahun.
Ketika Anda melihat ke masa kini, medan perjuangan bergeser. Tidak ada dentuman meriam. Tantangannya lebih senyap. Banyak hadir dalam bentuk pilihan kecil yang terjadi setiap hari. Anda mungkin tidak menyadarinya. Tapi di situlah ruang nilai kepahlawanan diuji.
Anda melihatnya saat seseorang memilih jujur meski tidak ada yang melihat. Saat seseorang tetap antre meskipun ada peluang mempercepat proses lewat jalan yang tidak benar. Langkah kecil ini terasa sederhana, tetapi menahan diri seperti itu membutuhkan keberanian batin. Keberanian semacam ini tidak selalu mendapat tepuk tangan. Namun justru itu yang membuatnya berarti.
Lingkungan juga menjadi ruang ujian zaman ini. Sungai kotor, udara berdebu, dan sampah plastik menumpuk. Di tengah kondisi ini, anak-anak muda memilih turun tangan. Mereka membersihkan sungai, menanam pohon, dan mengurangi sampah sekali pakai. Mereka tidak menunggu instruksi. Mereka bergerak karena merasa bertanggung jawab. Dari sana, Anda melihat bahwa kepahlawanan hari ini sering lahir dari kesadaran, bukan perintah.
Di sekolah terpencil, guru tetap hadir meski fasilitasnya terbatas. Ada yang berjalan jauh. Ada yang mengajar di ruang yang tidak layak. Mereka jarang disorot. Namun banyak masa depan dibentuk di ruang kelas kecil itu. Komitmen seperti ini lahir dari keyakinan bahwa setiap anak punya hak belajar yang sama. Anda tidak bisa mengabaikan nilai kemanusiaan yang bekerja di balik pengorbanan mereka.
Tenaga kesehatan di puskesmas kecil juga menjaga kehidupan dalam diam. Mereka bekerja dengan alat seadanya. Mereka sering menjadi tempat pertama dan terakhir yang mencari pertolongan. Mereka tetap hadir meski kelelahan. Anda bisa melihat bahwa keberanian tidak selalu muncul dalam situasi dramatis. Kadang ia tumbuh dari rutinitas yang dijalani dengan hati yang teguh.
Relawan bencana datang ketika banyak orang menjauh. Mereka mengangkat, mengevakuasi, memeluk warga yang panik. Mereka bekerja di antara puing dan lumpur. Indonesia hidup berdampingan dengan risiko bencana. Karena itu, kehadiran relawan selalu membuat orang merasa tidak sendirian. Dalam wajah mereka, Anda melihat bentuk kasih sayang yang paling nyata.
Di rumah, orang tua mendampingi anak menghadapi banjir informasi digital. Mereka menjaga agar anak tetap waras di tengah dunia yang cepat. Tidak ada sorotan kamera, tetapi banyak pembentukan karakter terjadi di tengah percakapan kecil sebelum tidur. Tugas ini sunyi, tetapi berat.
Peneliti energi bersih bekerja tanpa banyak sorotan. Mereka mencoba hal yang sama ratusan kali hingga satu percobaan membuahkan hasil. Upaya ini memberi harapan bahwa bangsa bisa mandiri energi. Di ruang laboratorium yang sepi itu, mereka menyiapkan masa depan yang lebih stabil.
Anak muda yang melawan hoaks juga menjadi penjaga akal sehat publik. Mereka memeriksa data, membetulkan informasi, dan menolak ikut arus yang membingungkan masyarakat. Ini tugas yang melelahkan. Namun mereka tetap melakukannya karena mereka tahu bahwa kebenaran perlu pembela.
Pada saat yang sama, pelaku UMKM tetap bertahan meski ekonomi sering tidak ramah. Mereka membuka usaha kecil. Mereka menciptakan pekerjaan baru. Mereka berjuang untuk keluarganya. Dari mereka lahir ketahanan ekonomi yang membuat banyak orang tetap bisa makan.
Pegiat literasi membuka ruang baca kecil di kampung. Mereka meminjamkan buku, mengajak anak berdiskusi, dan memberi ruang aman untuk bertanya. Dari tempat sederhana itu, Anda melihat bahwa masa depan bangsa kadang tumbuh dari ruangan sempit dengan rak buku seadanya.
Menghidupkan nilai kepahlawanan di era sekarang bukan soal menunggu momen besar. Anda cukup memilih satu tindakan yang membuat hidup orang lain lebih ringan. Anda berkata jujur meski tidak ada yang memaksa. Anda membantu orang tanpa berharap balas. Anda merawat lingkungan. Anda menjaga nalar publik. Anda melindungi anak dari tekanan digital.
Setiap tindakan itu mungkin kecil. Namun setiap bangsa berdiri dari hal-hal kecil yang dilakukan banyak orang secara konsisten. Hari Pahlawan tidak meminta Anda menjadi seperti mereka yang gugur di 1945. Hari ini hanya meminta Anda bertanya pada diri sendiri: langkah apa yang bisa Anda ambil agar dunia di sekitar Anda sedikit lebih baik.
Jika Anda ingin versi yang lebih panjang atau ingin menyesuaikan untuk media tertentu, saya bisa bantu lanjutkan.
----
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar