Oleh: *Mulyawan Safwandy Nugraha*
Setiap 10 November, saya selalu teringat cerita yang ayah saya ulang sejak kecil. Beliau bilang, kemerdekaan ini bukan datang tiba-tiba. Ada banyak orang yang menahan takut. Ada yang meninggalkan rumah. Ada yang tidak kembali. Dulu saya hanya mendengar sambil lalu. Tapi semakin bertambah umur, saya mulai merasa cerita itu bukan sekadar kisah masa lalu. Itu ajakan agar saya melihat hidup ini dengan rasa syukur. Allah memberi kita kemerdekaan melalui tangan banyak hamba yang dipilih. Kita tinggal meneruskan amanahnya.
Saat membaca lagi surat Ali Imran ayat 169, saya merasa ayat itu menegur saya secara pribadi. Allah bilang bahwa mereka yang gugur di jalan kebaikan itu hidup di sisi-Nya. Ayat itu membuat saya sadar bahwa keberanian selalu punya tempat khusus. Rasulullah juga pernah menyampaikan bahwa manusia terbaik adalah yang paling membawa manfaat. Kalimat ini terdengar sederhana. Tapi makin sering saya renungi, semakin terasa berat tanggung jawabnya.
Beberapa waktu lalu saya mengunjungi seorang guru di daerah pinggiran Sukabumi. Ruang kelasnya kecil. Kursinya tidak sama tinggi. Tapi beliau mengajar dengan semangat seperti sedang mengajar di sekolah terbaik. Saya duduk sebentar di pojok ruangan. Melihat beliau menenangkan murid yang menangis. Mengajak yang lain membaca iqra. Di situ, saya merasa sedang melihat rahmat Allah bekerja lewat seseorang yang mungkin tidak pernah disebut di berita. Saya pulang dengan rasa malu. Juga rasa syukur.
Di puskesmas kecil, saya pernah menemani saudara yang berobat. Tenaga kesehatannya bekerja tanpa banyak alat. Tapi mereka tetap ramah. Tetap sabar. Saya melihat seorang perawat yang tidak berhenti tersenyum sejak pagi. Saya tanya, apa tidak lelah. Beliau hanya bilang, semua orang datang ke sini karena sedang kesulitan. Kalau saya ikut murung, siapa yang menguatkan mereka. Saya merasa itu kalimat yang sederhana tapi berat. Kadang orang seperti ini membuat saya kembali ingat bahwa Allah menolong manusia lewat tangan manusia lain.
Pernah juga saya bertemu relawan bencana. Waktu itu tanah longsor menutup akses jalan. Mereka baru turun dari lokasi evakuasi. Tubuh mereka penuh lumpur. Tapi wajah mereka seperti orang yang baru saja mendapat hadiah. Mereka bilang, selama ada orang yang berhasil diselamatkan, semua lelah hilang. Saya pulang sambil terdiam. Umar bin Khattab pernah berkata bahwa siapa pun yang membantu orang lain, ia sedang membantu dirinya sendiri di hadapan Allah. Saya melihat makna itu dalam wajah para relawan.
Orang tua saya sendiri menjadi pengingat lain tentang syukur. Mereka mendidik kami tanpa teori panjang. Mereka hanya memastikan rumah tetap menjadi tempat kami belajar tentang iman dan tanggung jawab. Saya masih ingat ibu menutup gawai saya saat saya mulai kecanduan layar. Beliau bilang, hati itu mudah kosong. Jangan biarkan kosong terlalu lama. Nasihat itu baru terasa setelah dewasa.
Beberapa teman saya bekerja di bidang energi bersih. Mereka sering bercerita tentang penelitian yang gagal berhari-hari. Tapi mereka terus ulangi. Mereka bilang bangsa ini butuh energi yang lebih sehat. Saya melihat kerja keras itu sebagai bentuk ibadah. Dalam Alquran, Allah memuji orang yang menimbang akibat dari tindakan. Saya merasa penelitian mereka termasuk dalam nasihat itu.
Saya juga menyaksikan anak muda yang setiap hari memeriksa kabar palsu di media sosial. Mereka rela menelusuri data agar masyarakat tidak terperangkap fitnah. Saya pernah duduk bersama salah satu dari mereka. Katanya, kalau tidak ada yang menjaga kebenaran, masyarakat bisa rusak. Kalimat itu terdengar berat, tapi memang benar.
UMKM di sekitar rumah saya juga memberi pelajaran sendiri. Mereka bangun toko dini hari. Mereka layani pelanggan dengan jujur. Mereka bertahan meski pendapatan naik turun. Rasulullah pernah memuliakan pedagang yang jujur. Saat melihat mereka, saya merasa sedang melihat orang yang diam-diam menjalankan sabda itu.
Saya beberapa kali mampir ke taman bacaan kecil yang dikelola teman saya di kampung. Rak bukunya tidak banyak. Tapi anak-anak datang dengan mata berbinar. Teman saya bilang, kalau satu anak saja membaca dengan senang, itu sudah cukup. Ibnu Mas’ud pernah bilang bahwa kebodohan adalah gelap yang panjang. Saya melihat taman bacaan kecil itu sebagai lampu kecil yang Allah titipkan kepada seseorang yang bersedia menyalakannya.
Semua pengalaman kecil ini membuat saya merasa bahwa pahlawan tidak selalu lahir dari situasi besar. Banyak pahlawan hadir dalam hidup kita setiap hari. Mereka tidak pakai seragam. Mereka tidak pidato. Mereka hanya melakukan kebaikan karena hatinya terpanggil. Ketika Allah menitipkan kebaikan pada seseorang, hasilnya selalu terasa. Anda tinggal melihat lebih dekat.
Hari Pahlawan mengajak kita berhenti sebentar. Mengingat bahwa apa pun yang kita miliki hari ini adalah bagian dari rahmat Allah. Juga hasil kerja banyak orang yang mungkin tidak pernah kita kenal. Tugas kita sederhana. Jangan biarkan amanah itu berhenti di tangan kita. Lanjutkan dengan langkah kecil. Dengan kejujuran. Dengan bantu orang yang sedang kesulitan. Dengan menjaga akal sehat dan lingkungan.
Jika langkah itu dilakukan dengan hati yang bersyukur, mungkin di mata orang lain itu kecil. Tapi di sisi Allah, bisa jadi itu lebih besar dari yang kita kira.
-----
Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Wakil ketua Tanfidziah PCNU Kota Sukabumi. Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar