Jumat, 21 November 2025

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat



Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK

etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi

Direktur Research and Literacy Institute (RLI)

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung



Saya masih ingat, suatu pagi beberapa tahun lalu, saya tiba di sebuah madrasah di Sukabumi. Jam baru menunjukkan pukul tujuh, tapi halaman sekolah sudah ramai. Guru-guru menyambut siswa di gerbang, beberapa sedang memeriksa kebersihan kelas, sementara kepala sekolah berdiri di tengah lapangan dengan sapu di tangan. Ia tidak memberi perintah, tapi ikut bekerja. Ia menyapu halaman yang masih basah karena embun.

Pemandangan itu sederhana, tapi saya tahu itu bukan hal biasa. Banyak kepala sekolah memimpin dari ruangannya. Tapi di sini, pemimpin hadir di lapangan. Bukan hanya memberi instruksi, tapi menjadi contoh hidup tentang arti bekerja dengan hati. Di situlah saya belajar satu hal penting: budaya kerja positif tidak dimulai dari aturan atau slogan di dinding, tapi dari teladan seorang pemimpin.


Budaya kerja adalah ruh yang menggerakkan lembaga. Ia tidak tertulis di papan visi-misi, tapi hidup dalam perilaku sehari-hari. Dalam lembaga pendidikan Islam, budaya kerja seharusnya mencerminkan nilai-nilai dasar Islam: kejujuran, tanggung jawab, ketekunan, dan kasih sayang. Namun sering kali, nilai itu hanya menjadi retorika. Di atas kertas semua tampak ideal, tapi di lapangan, semangatnya tidak terasa.

Saya pernah mengunjungi sekolah lain yang fasilitasnya lengkap dan dikelola secara modern, tapi suasananya kaku. Guru datang terlambat, rapat dimulai molor, dan koordinasi antarbagian tidak terbangun. Kepala sekolahnya pandai berbicara tentang visi besar, tapi jarang turun ke lapangan. Sekolah itu terlihat rapi dari luar, tapi di dalamnya tidak ada energi positif. Semua berjalan karena kewajiban, bukan kesadaran.

Dari pengalaman itu saya belajar, budaya kerja positif tidak akan tumbuh bila pemimpinnya tidak konsisten memberi contoh. Dalam Islam, konsep kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tapi tentang tanggung jawab moral. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, kepemimpinan bukan hak istimewa, tapi amanah.


Kepemimpinan yang kuat bukan berarti keras atau dominan. Kekuatan sejati justru terletak pada kejelasan arah, integritas, dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan. Pemimpin yang kuat tahu kapan harus tegas, dan kapan harus mendengar. Ia tidak membangun kekuasaan dengan rasa takut, tapi dengan rasa percaya.

Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah atau pimpinan yayasan adalah pusat gravitasi. Ia mempengaruhi seluruh dinamika kerja, dari cara guru mengajar hingga semangat staf kebersihan menjalankan tugas. Seorang pemimpin yang datang tepat waktu, menghargai rapat, dan menepati janji, tanpa perlu bicara banyak pun sudah menanamkan budaya kerja positif.

Saya pernah berbicara dengan seorang guru di madrasah yang cukup maju di Jawa Tengah. Ia berkata, “Kami disiplin bukan karena takut, tapi karena malu pada kepala sekolah.” Saya tanya kenapa. Ia menjawab, “Karena beliau selalu datang paling pagi dan pulang paling akhir.” Bagi saya, itu kepemimpinan yang kuat. Tidak banyak bicara, tapi berpengaruh besar.


Budaya kerja positif tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia dibentuk oleh sistem, tapi dipelihara oleh manusia. Pemimpin yang ingin membangun budaya kerja sehat perlu memahami tiga hal penting: nilai, komunikasi, dan keteladanan.

Pertama, menegaskan nilai yang menjadi dasar bersama.
Lembaga pendidikan Islam harus berani menentukan nilai-nilai inti yang akan menjadi panduan perilaku. Misalnya, kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab. Nilai ini tidak cukup hanya diumumkan di awal tahun ajaran, tapi harus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Misalnya, guru yang terlambat tidak langsung ditegur, tapi diajak memahami makna amanah. Atau staf administrasi yang bekerja cepat diberi apresiasi terbuka agar yang lain terinspirasi.

Kedua, membangun komunikasi yang manusiawi.
Saya sering menemukan sekolah yang semua komunikasi bersifat satu arah. Kepala sekolah bicara, guru mendengarkan. Akibatnya, suasana kerja terasa seperti instruksi, bukan kolaborasi. Padahal, budaya kerja positif tumbuh dari percakapan yang jujur. Kepala sekolah perlu membuka ruang dialog, mendengar aspirasi guru, dan memberi umpan balik tanpa menghakimi.

Di satu sekolah Islam di Surabaya, setiap Jumat sore kepala sekolah mengadakan “ngopi bareng” dengan guru. Tidak ada agenda formal. Mereka bercerita tentang pengalaman di kelas, kadang juga curhat tentang beban kerja. Dari situ muncul banyak ide kecil yang kemudian menjadi inovasi besar. Kepala sekolahnya berkata, “Kalau kita mau sekolah sehat, mulai dari ngobrol yang sehat.”

Ketiga, menjadi teladan dalam hal etika dan semangat kerja.
Tidak ada budaya kerja positif tanpa keteladanan. Pemimpin yang ingin menegakkan disiplin harus terlebih dulu menunjukkan kedisiplinan. Pemimpin yang ingin menumbuhkan kejujuran harus berani jujur terhadap dirinya sendiri. Ini sejalan dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin ke-16 tentang tata kelola yang adil, transparan, dan berintegritas.

Kepemimpinan pendidikan Islam yang kuat sejalan dengan semangat SDGs: menciptakan institusi yang tangguh dan berkeadilan. Jika lembaga pendidikan Islam mampu menerapkan prinsip kepemimpinan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, maka budaya kerja positif akan tumbuh alami.


Tentu, membangun budaya kerja positif tidak terjadi dalam semalam. Ia butuh waktu dan konsistensi. Ada masa-masa di mana perubahan terasa lambat, bahkan menimbulkan resistensi. Guru bisa saja merasa lelah, staf bisa merasa diabaikan, dan kepala sekolah pun mungkin kehilangan semangat. Di saat seperti itu, pemimpin perlu kembali pada niat awal: untuk apa ia memimpin.

Saya pernah berbincang dengan seorang kepala madrasah yang hampir menyerah. Ia berkata, “Saya sudah berusaha menegakkan disiplin, tapi selalu ada yang melanggar. Saya jadi capek.” Saya menatapnya dan berkata pelan, “Mungkin karena mereka belum melihat makna di balik disiplin itu.” Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk.

Beberapa bulan kemudian, saya kembali ke madrasah itu. Ada perubahan kecil tapi nyata. Ia mulai mengganti cara pendekatannya. Setiap rapat ia mengawali dengan cerita inspiratif, bukan teguran. Ia berbagi kisah tentang nilai kerja keras, tentang niat, tentang barakah dalam pekerjaan. Perlahan, suasana kerja membaik. Guru mulai datang lebih awal, siswa lebih tertib, dan senyum lebih sering terlihat di wajah mereka.

Saya belajar dari situ, bahwa budaya kerja positif tidak dibangun dengan tekanan, tapi dengan makna. Ketika orang memahami alasan di balik aturan, mereka akan bekerja bukan karena takut, tapi karena sadar.


Ada satu kalimat yang saya suka dari John C. Maxwell, seorang pakar kepemimpinan. Ia berkata, “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” Pemimpin bukan hanya tahu arah, tapi juga berjalan dan menunjukkan jalan. Dalam lembaga pendidikan Islam, prinsip ini sangat relevan. Kepala sekolah bukan hanya pengelola, tapi juga pembentuk karakter lembaga.

Ia harus berani menegakkan nilai-nilai, menjaga keadilan, dan menginspirasi semua pihak untuk bekerja lebih baik. Kepemimpinan yang kuat tidak diukur dari seberapa keras ia berbicara, tapi seberapa dalam pengaruhnya terhadap perilaku orang-orang di sekitarnya.

Ketika pemimpin menjadi sumber energi positif, budaya kerja pun ikut bergerak. Guru bekerja dengan senang hati, staf administratif bekerja dengan rasa bangga, dan siswa belajar dalam suasana yang hangat. Semua itu tidak bisa dibeli atau diperintah. Ia tumbuh dari kepercayaan.


Saya percaya, lembaga pendidikan Islam yang ingin maju harus menempatkan pembangunan budaya kerja sebagai prioritas utama. Karena budaya kerja yang positif akan menghasilkan kinerja yang berkelanjutan. Sekolah yang memiliki semangat kolektif, disiplin yang manusiawi, dan komunikasi yang terbuka akan jauh lebih tangguh menghadapi tantangan zaman.

Apalagi di era pasca-pandemi ini, tantangan lembaga pendidikan semakin kompleks. Guru dituntut beradaptasi dengan teknologi, siswa menghadapi tekanan sosial yang lebih tinggi, dan orang tua menuntut hasil yang cepat. Di tengah tekanan itu, hanya budaya kerja yang positif yang bisa menjaga semangat kebersamaan.

SDGs menekankan pentingnya kerja layak dan pertumbuhan ekonomi (Goal 8), serta lembaga yang kuat dan damai (Goal 16). Dua poin itu bisa dimulai dari sekolah. Jika lembaga pendidikan Islam bisa membangun ekosistem kerja yang sehat, kolaboratif, dan berorientasi pada nilai, maka ia bukan hanya menjalankan ajaran Islam, tapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.


Saya sering merenung, bahwa inti dari budaya kerja positif adalah rasa memiliki. Ketika guru merasa sekolahnya adalah bagian dari dirinya, ia akan menjaga dengan sepenuh hati. Ketika pemimpin memperlakukan stafnya dengan hormat, mereka akan bekerja dengan semangat.

Dan semua itu bermula dari satu hal: kepemimpinan yang kuat, bukan dalam arti berkuasa, tapi dalam arti berjiwa besar. Pemimpin yang kuat adalah yang mampu menyalakan semangat, bukan sekadar menegakkan aturan. Ia hadir tidak untuk menaklukkan, tapi untuk menggerakkan.

Dalam pendidikan Islam, kekuatan sejati pemimpin tidak terletak pada posisi, tapi pada pengaruh kebaikannya. Karena sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, “Nilai seseorang diukur dari apa yang ia lakukan dengan kekuasaan yang dimilikinya.”

Maka, jika seorang kepala sekolah mampu menggunakan kekuasaannya untuk menumbuhkan budaya kerja yang positif, ia tidak hanya berhasil sebagai manajer, tapi juga sebagai pendidik sejati.

Dan mungkin, di sanalah letak keberkahan sebuah lembaga pendidikan Islam: ketika semua orang bekerja bukan karena takut, tapi karena cinta.

Tidak ada komentar:

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi Direktur Research and Literacy Institute (RLI) Dosen UIN Sunan Gunung D...