Jumat, 21 November 2025

Pahlawan Baru di Tengah Riuh Zaman


Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 


Hari Pahlawan lahir dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Hari itu, rakyat melawan pasukan bersenjata lengkap. Kota terbakar oleh keberanian. Banyak yang gugur, tapi semangat mereka menyalakan nyala yang tak padam: bahwa kemerdekaan hanya berarti jika ada keberanian untuk menjaganya. Karena itu, Hari Pahlawan bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan ajakan untuk menyalakan kembali nilai-nilai pengorbanan, keberanian, dan tanggung jawab.


Namun zaman berubah. Medan perjuangan tidak lagi di medan perang. Kini musuh bangsa tidak berbentuk tentara penjajah. Ia hadir dalam rupa yang lebih halus: korupsi kecil yang dianggap lumrah, berita palsu yang memecah warga, ketidakpedulian sosial, dan keengganan untuk berbuat baik tanpa pamrih. Di sinilah nilai kepahlawanan diuji dalam bentuk baru. Tidak dengan senjata, melainkan dengan kejujuran, kepedulian, dan konsistensi dalam hal-hal kecil.


Anda bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang memilih antre ketika banyak yang ingin diserobot. Ada yang menolak “uang pelicin” meski butuh. Ada yang tetap disiplin bekerja walau tidak diawasi. Tindakan kecil seperti itu mungkin tidak viral, tapi di situlah letak keberanian moral. Menjadi pahlawan kini berarti mampu melawan godaan untuk curang, sekalipun sistem seolah membiarkannya.


Di sisi lain, kepahlawanan masa kini juga hidup dalam gerakan merawat bumi. Anak muda membersihkan sungai, menanam pohon, atau mengurangi sampah plastik. Mereka sadar bumi sedang sakit, dan tanggung jawab memperbaikinya tidak bisa ditunda. Keberanian mereka adalah bentuk baru dari cinta tanah air. Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa sekop, sapu, dan kesadaran.


Lihat juga guru-guru di pelosok negeri. Mereka berjalan jauh, mengajar dengan alat seadanya, kadang tanpa listrik, tapi tetap datang setiap pagi. Mereka menyalakan harapan di mata anak-anak. Mereka mungkin tak masuk berita, tapi dari ruang kelas sederhana itulah masa depan bangsa disemai. Dalam ketulusan itu, Anda bisa melihat makna sejati dari pengabdian.


Tenaga kesehatan di puskesmas kecil pun menjalani hari-hari panjang dengan fasilitas terbatas. Mereka menambal luka, menenangkan pasien, dan menjaga kehidupan. Di tengah sistem yang kadang tidak adil, mereka memilih tetap bertahan. Keberanian seperti ini tidak heboh, tapi nyata.


Relawan bencana datang ke lokasi ketika yang lain menjauh. Mereka bekerja di tengah debu, banjir, atau longsor. Mereka tak selalu punya cukup logistik, tapi mereka punya niat untuk menolong. Mereka hadir sebagai wajah kemanusiaan. Setiap kali bencana datang, mereka menunjukkan bahwa bangsa ini masih punya hati yang hidup.


Di rumah, orang tua menjadi pelindung anak dari banjir informasi digital. Mereka mendampingi, mendengar, dan mengarahkan. Mereka tidak hanya menjaga anak agar pintar, tapi juga agar tetap manusiawi. Di tengah dunia yang sibuk mengejar kesuksesan, tugas seperti ini sering luput dari perhatian, padahal sangat menentukan.


Peneliti energi bersih bekerja dalam senyap di laboratorium. Mereka meneliti panel surya, baterai, dan teknologi ramah lingkungan. Mereka tahu bahwa kemandirian bangsa ditentukan oleh kemandirian energi. Mereka mungkin tidak memakai seragam tempur, tapi kerja keras mereka menentukan masa depan.


Anak muda yang melawan hoaks juga bagian dari barisan pahlawan baru. Mereka memeriksa data, meluruskan kabar palsu, dan menjaga agar masyarakat tetap rasional. Di tengah banjir informasi dan polarisasi politik, mereka menjaga api kebenaran agar tidak padam.


Pelaku UMKM berjuang tanpa banyak dukungan. Mereka membuka usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menopang ekonomi keluarga. Dalam kesederhanaan, mereka menolak menyerah. Mereka menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya soal perang, tapi juga soal bertahan hidup dengan jujur.


Pegiat literasi membuka ruang baca di kampung. Mereka meminjamkan buku, mengajak anak berdiskusi, dan menyalakan rasa ingin tahu. Mereka tahu perubahan besar dimulai dari kemampuan membaca dan berpikir. Dari ruang sempit itu, masa depan sedang disiapkan.


Nilai kepahlawanan di era sekarang bukanlah sesuatu yang jauh. Ia hidup di sekitar Anda. Di ruang kelas, puskesmas, laboratorium, warung kecil, dan perpustakaan sederhana. Kepahlawanan bukan lagi milik yang mati di medan perang, tapi milik mereka yang tetap hidup untuk memperbaiki keadaan, sedikit demi sedikit.


Peringatan Hari Pahlawan bukan ajakan untuk bernostalgia, melainkan undangan untuk introspeksi. Apakah Anda masih punya keberanian untuk jujur ketika mudah untuk menipu? Apakah Anda masih peduli ketika lingkungan rusak? Apakah Anda masih mau menolong tanpa disorot kamera?


Kepahlawanan sejati tidak memerlukan seremoni. Ia tumbuh dalam kesadaran bahwa hidup ini bernilai jika memberi manfaat. Jadi, di tengah riuh zaman, ketika segala hal bergerak cepat dan banyak orang sibuk mencari perhatian, Anda bisa memilih jalan sebaliknya. Jalan yang tenang, sederhana, tapi penuh makna. Jalan orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, berbuat tanpa suara, dan mencintai tanpa syarat.


Mereka inilah pahlawan baru di tengah riuh zaman. Dan siapa pun bisa menjadi bagian dari mereka, mulai dari langkah kecil yang Anda ambil hari ini.

----

Mulyawan Safwandy Nugraha adalah Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan, adminstrasi dan manajemen Pendidikan. Lulus program Doktor dari UPI Bandung 2013. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi. Saat ini, diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi, Direktur Research and Literacy Institute (RLI) dan beberapa pengabdian di beberapa organisasi. Menyenangi dunia penelitian,, pengabdian, publikasi dan pengelolaan jurnal ilmiah

Tidak ada komentar:

10 SDGs | Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Oleh: Mulyawan Safwandy NugrahaK etua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi Direktur Research and Literacy Institute (RLI) Dosen UIN Sunan Gunung D...