Jumat, 27 Juni 2025

Hijrah: Ketika manusia berproses untuk lebih menjadi Manusia

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Setiap kali memasuki bulan Muharram, saya teringat satu pertanyaan lama yang entah siapa yang pertama kali lontarkan: kenapa kalender Islam dimulai dari hijrah, bukan dari kelahiran Nabi Muhammad, atau turunnya wahyu pertama? Orang-orang sering menjawab dengan bahasa yang sangat agamis—simbol perjuangan, awal peradaban, dan seterusnya. Tapi saya punya jawaban sederhana: karena orang Islam, dari dulu sampai sekarang, memang suka pindah-pindah. Cuma sayangnya, sering lupa tujuan.


Hijrah itu memang penting. Tapi jangan buru-buru membayangkan sesuatu yang berat dan dramatis. Kita ini kadang terlalu sibuk mengurusi hijrah orang lain: “Wah, dia udah hijrah tuh... pakai gamis... Pakai hijab....jenggotan... mantap!” Tapi lupa ngaca—sudah hijrah dari nyinyir ke berpikir belum? Sudah hijrah dari gampang tersinggung ke gampang tertawa belum?


Saya tidak sedang mengecilkan makna hijrah. Tapi justru ingin mengingatkan bahwa makna hijrah itu sangat luas, bahkan bisa sangat pribadi. Nabi Muhammad saja, waktu hijrah ke Madinah, tidak bawa bala tentara. Beliau hanya ditemani Abu Bakar. Itu pun sembunyi-sembunyi. Tidak ada status Instagram bertuliskan “Bismillah, hijrah.” Jadi, kalau ada orang berubah pelan-pelan, jangan buru-buru bilang belum hijrah. Bisa jadi dia justru sedang dalam proses paling dalam.


Orang suka lupa, bahwa hijrah juga bisa berarti: berhenti menyakiti orang lain. Berhenti merasa paling benar. Berhenti merasa surga itu milik kelompok sendiri. Itu juga hijrah, meskipun tidak kelihatan dari pakaian luar. Hijrah adalah berpindah dari sempit ke lapang, dari keras ke lembut, dari sok tahu ke tahu diri.


Saya pernah bilang dalam satu ceramah santai, yang kadang lebih banyak ketawanya daripada isinya“Agama itu untuk membebaskan manusia, bukan menakut-nakutinya.” Jadi kalau cara kita beragama justru bikin orang takut, cemas, dan merasa makin jauh dari Tuhan, ya kita perlu hijrah. Bukan dari agama, tapi dari cara memahaminya.


Di masa seperti sekarang, hijrah bukan cuma soal pribadi. Bangsa ini juga perlu hijrah. Dari kebisingan debat tak berujung menuju suasana saling mendengar. Dari saling curiga ke saling memahami. Dari kata-kata kasar di kolom komentar ke tindakan nyata di dunia nyata. Percuma status sosial media panjang-panjang kalau di warung masih enggan antri dan buang sampah sembarangan.


Kadang saya berpikir, kita ini terlalu serius dalam hal-hal yang tak penting, dan terlalu santai dalam hal-hal yang genting. Hijrah itu artinya tahu mana yang perlu ditertawakan, dan mana yang harus disikapi dengan hati-hati. Jangan semua masalah dianggap urusan iman, tapi juga jangan semua urusan iman dianggap bahan candaan.


Kalau kita mau jujur, hidup ini memang penuh perubahan. Bahkan tubuh kita pun berubah tanpa kita sadari. Maka pertanyaannya bukan “mau berubah atau tidak?”, tapi “mau berubah ke arah mana?” Orang bisa berubah jadi lebih keras, lebih kejam, lebih egois. Maka hijrah adalah upaya sadar untuk berubah menjadi lebih manusia—lebih pengertian, lebih lembut, lebih bisa tertawa.


Satu hal yang saya pelajari dari banyak orang bijak: orang yang makin dalam ilmunya, justru makin tenang. Tidak mudah marah, tidak mudah menghakimi. Maka saya kira, hijrah juga berarti berpindah dari dangkal ke dalam. Bukan cuma paham ayat, tapi paham makna. Bukan cuma fasih berdoa, tapi juga lembut hatinya.


Kalau mau jujur lagi, sebagian dari kita ini sudah terlalu lama hidup dalam rutinitas. Bangun, kerja, pulang, rebahan, scroll medsos, lalu tidur. Begitu terus. Kita perlu hijrah, bukan ke tempat lain, tapi ke versi diri kita yang lebih sadar. Sadar bahwa hidup ini singkat, dan terlalu berharga untuk diisi dengan marah-marah tiap hari.


Jadi ya sudah, tak usah muluk-muluk. Tahun baru hijriyah ini, mari kita hijrah pelan-pelan. Dari kebiasaan menunda ke disiplin. Dari mulut yang tajam ke hati yang hangat. Dari semangat membenci ke semangat memperbaiki. Kalau pun belum bisa semua, ya tidak apa-apa. Yang penting terus berjalan. Karena seperti kata Gus Dur: “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Dan hijrah, pada akhirnya, adalah cara kita belajar menjadi manusia yang lebih baik.



---


Bio Penulis:

Mulyawan Safwandy Nugraha

Akademisi yang percaya bahwa humor, akal sehat, dan sedikit ngopi bisa membuat hidup lebih ringan. Fokus kajian pada manajemen, kepemimpinan, Pendidikan dan Pembelajaran. Menulis untuk menyampaikan yang berat dengan cara yang bersahabat. Sesekali menulis di antara tugas sebagai editor dan reviewer Jurnal utk mengoreksi artikel ilmiah serta sebagai ayah yang menemani anak-anaknya yang makin dewasa.

Hijrah: Ketika manusia berproses untuk lebih menjadi Manusia

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha Setiap kali memasuki bulan Muharram, saya teringat satu pertanyaan lama yang entah siapa yang pertama kali l...