Selasa, 11 Juni 2013

Makna Mi'raj oleh Om Beqi

Pada bulan Rajab, saatnya perayaan Mi'raj, tapi Mi'raj tak pernah kurasakan. Penasaran kutanyakan pada maulana."Kenapa saya tak pernah bisa merasakan Mi'raj, padahal puluhan Rajab sudah kulalui?" "Belajarlah menjadi pelayan Tuhan, anakku!", jawab Maulana, "Kau tahu ayat tentang Isra Miraj, subhanalladzi Asra bi 'abdihi; ada pelayan Tuhan yang diperjalankan menembus ketidakmungkinan. Rumusnya sangatlah sederhana, apa atau siapa yang kau layani, ialah yang memperjalankanmu." "Bagaimana cara melayani Tuhan?" saya penasaran. " Mari ikut denganku..." ajak Maulana. Saat itu malam, sekitar jam 1, kami berjalan menembus gelap. Rupanya kami berjalan menuju pasar. Malam yang dingin dengan hujan rintik tak membuat pasarmenjadi sepi. Sangat ramai: penjual dan pembeli, bahkan pengemis. Maulana menyapa salah seorang pedagang, "Kenapa harus berjualan malam-malam begini, pada saat yang lain tidur; apa tidak besok saja?" "Besok pagi semuanya sudah harus siap. Sarapan sudah siap saji di rumah-rumah, anak-anak sudah siap ke sekolah begitu juga dengan pegawai. Agar semuanya berjalan lancar, warung-warung harus menyiapkan semuanya sebelum semua penghuni rumah itu bangun. Karena kebiasaanya begitu, saya harus juga berdagang pada malam hari begini. Kalau tidak begitu, kami tak bakal dapat uang," jawab pedagang itu, "terlambat sedikit saja, aku bisa merugi!" "Lihatlah!', bisik Maulana, "di pasar ini pedagang dan pembeli diperjalankan dari rumahnya untuk menembus malam gelap dan dingin begini. Semuanya karena melayani uang, paling tidak melayani kepentingannya. Merekapun kemudian mendapatkan apa yang semula dianggapnya tidak mungkin. Para pencinta keindahan alam, menghabiskan uang dan tenaganya --bahkan nyawanya-- untuk menaiki gunung tinggi atau tempat eksotis lainnya. Para pencinta buku, menghabiskan uang dan waktunya untuk membaca berlembar-lembar mutiara kata. Apakah kau sudah melayani Tuhan seperti itu? Apakah pada malam hari kau sudah mau bangun shalat dan menyatakan 'terlambat sedikit saja, aku bisa merugi!' ?" "Kalau begitu bagaimana caranya agar aku bisa jadi pelayan Tuhan?", tanyaku "Allah adalah Raja Manusia, Raja Kehidupan ini," jawab Maulana, "Hanya manusia yang jadi rajalah yang dapat menjadi pelayan Raja Kehidupan!". "Kalau begitu, saya yang bukan siapa-siapa ini tak berpeluang menjadi pelayan-Nya?" kesadaranku menjadi gelap, tanpa harapan. "Bukan juga begitu, tapi dengarkan dulu ceritaku ini," ujar Maulana: "Seorang raja diraja bertemu dengan seorang sufi yang tinggal jauh dari pusat kota. Sufi itu hanya menemuinya beberapa menit, kemudian meninggalkan raja begitu saja. Melihat itu, raja diaja merasa kesal dan berteriak, 'Hei Tua, bersikaplah hormat kepadaku. Kalau kau tahu siapa diriku, kau akan menyesal!!!' Sufi itu tanpa membalikkan badannya menjawab, "Aku tahu siapa dirimu, kau adalah budak dari budak-budakku!" "Apa maksudmu?" teriak raja itu, "aku raja diraja negeri ini?" "Hehehe... Dalam diriku ada kemarahan, ketamakan, kegelisahan. Semuanya telah menjadi budak-budakku, tapi kau justru menjadi budak ketamakan dan kemarahan itu.' Demikianlah hidup ini. Sufi itu telah menjadi raja, karena itu ia menjadi pelayan Tuhan. Sementara itu raja diraja gila hormat, karena itu ia menjadi budak nafsunya sendiri." Aku tercenung. Berarti Mi'raj hanya diperoleh bila saya bisa menjadi tuan bagi diriku sendiri. Tiba-tiba seseorang menabrakku, ikan-ikan yang amis menumpah bajuku. Rupanya ia pedagang ikan, "Lihat-lihat dong, gak punya mata apa?" teriakku. "Lihatlah kau masih menjadi tawanan dari kemarahanmu," bisik Maulana sambil menggamit lenganku, pergi dari pasar. "Ciri pelayan Tuhan yang kedua adalah meyalani siapapun yang berhubungan dengan Tuannya," Maulana meneruskan uraiannya, "Smua orang berurusan dengan Allah, termasuk pedagang ikan itu. Kasihi mereka sebagaimana Allah mengasihi mereka. Bahkan pada yang berbuat kerusakan dan menghujatNya, Tuhan terus mengasihi." "Susah juga mencapai Mi'raj, kalau begitu?" komentarku. "Tidak juga," jawab Maulana, "Bangunlah pagi-pagi, sapu rumahmu, bersihkan dari debu-debu, cuci piring setelah makan, siram pepohonan di halaman rumahmu; dengan terus meniatkan diri bekerja "atas nama Tuhan" (bismillah). Saat itu kau menjadi pelayan Tuhan. Berjuanglah terus seperti itu, karena kemarahan, keputusasaan, akan berupaya menjadikanmu sebagai budaknya. Malam terus menggelap, mungkin sebentar lagi fajar. Terbayang gelas bekas kopi masih berantakan. Pagi ini, tidak siapa-siapa yang akan mencucinya.

1 komentar:

YASPIHIS mengatakan...

terima kasih mudah-mudahan lebih banyak lagi transfer ilmu untuk kita semua...

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...