Rabu, 08 Agustus 2018

Akreditasi dan Tantangan Madrasah Menuju Hebat Bermartabat

Oleh:
Dr.H.Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag.,M.Pd
(Pengawas Sekolah Madya pada Madrasah Aliyah
Kankemenag Kabupaten Sukabumi)


Pendahuluan
Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah/madrasah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah/madrasah sebagai sebuah institusi belajar. Walaupun beragam perbedaan dimungkinkan terjadi antar sekolah/madrasah, tetapi sekolah/madrasah dievaluasi berdasarkan standar tertentu. Standar diharapkan dapat mendorong dan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan pendidikan dan memberikan arahan untuk evaluasi diri yang berkelanjutan, serta menyediakan perangsang untuk terus berusaha mencapai mutu yang diharapkan.

Akreditasi merupakan alat regulasi diri (self-regulation) agar sekolah/madrasah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Dalam hal ini akreditasi memiliki makna proses pendidikan. Di samping itu akreditasi juga merupakan penilaian hasil dalam bentuk sertifikasi formal terhadap kondisi suatu sekolah/madrasah yang telah memenuhi standar layanan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses akreditasi dalam makna proses adalah penilaian dan pengembangan mutu suatu sekolah/madrasah secara berkelanjutan. Akreditasi dalam makna hasil menyatakan pengakuan bahwa suatu sekolah/madrasah telah memenuhi standar kelayakan yang telah ditentukan.

Jika tidak ada aral melintang, mulai pertengahan Agustus 2018 ini akan serempak diadakan visitasi oleh Asesor dari BAN S/M Provinsi Jawa Barat ke Sekolah dan Madrasah. Saat ini, madrasah masih melakukan proses log in SisPenA (Sistem Penilaian Akreditasi) di www.bansm.kemdikbud.go.id/sispena. Menurut informasi Ketua BAN S/M Provinsi Jabar, Prof. Udin S. Sa’ud, Ph.D bahwa Sekolah/Madrasah yang belum log in di SisPenA kurang lebih empat ribuan, dan sebagian besar adalah madrasah.

Perlu diketahui bahwa akreditasi tahun 2018 memiliki perbedaan dengan akreditasi tahun-tahun sebelumnya. saat ini, SisPenA terhubung dengan Dapodik dan EMIS. Bagi Madrasah, mengisi EMIS merupakan kewajiban untuk mengisinya sesuai dengan keadaan dan kenyataannya. Kita perlu mengingatkan kepada Madrasah agar menghindari pengisian data yang tidak relevan, karena akan berakibat fatal pada banyak hal. Di antaranya akan bermasalah untuk penilaian akreditasi madrasah.

H. Abudin, selaku Kabid Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat, dalam tiap kesempatan tiga bulan terakhir ini, selalu mengingatkan dan menyampaikan tentang urgensi memiliki data yang valid, otentik dan dapat diandalkan. Pengisian data yang “sering” bermasalah adalah pengisian jumlah siswa. Seperti diketahui, masih ada “oknum” yang masih memiliki mind set keliru tentang masalah jumlah siswa ini terkait masalah Finansial BOS.

Menjelang visitasi akreditasi, Data Isian Akreditasi (DIA) juga masih mengalami kendala. Masih cukup banyak madrasah di Jawa Barat yang belum mengisi DIA dengan tuntas. Akibat dari hal ini adalah tidak teridentifikasinya madrasah untuk diakreditasi, mana madrasah yang belum terakreditasi, berapa lama lagi masa berlaku sertifikat akreditasi, penjadwalan visitasi akreditasi dan lain-lain.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, posisi Madrasah sejajar dengan Sekolah. Pemerintah mengeluarkan regulasi tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang harus dipatuhi oleh stakeholder pendidikan, termasuk Kementerian Agama dan madrasah. Akreditasi merupakan bentuk upaya pemerintah menjaga aktuntabilitas pengelola lembaga pendidikan kepada masyarakat. 

Tantangan Madrasah
Ada hal baru dalam pemenuhan kriteria akreditasi dengan perangkat tahun 2017 yaitu bahwa Sekolah/Madrasah dinyatakan “terakreditasi”, jika memenuhi seluruh kriteria, yaitu: Pertama, memperoleh nilai akhir akreditasi sekurang-kurangnya 71; Kedua, memperoleh Nilai Komponen Standar Sarana dan Prasarana tidak kurang dari 61; dan Ketiga, tidak ada nilai komponen standar di bawah 50.

Sekolah/Madrasah memperoleh peringkat akreditasi sebagai berikut: Pertama, Peringkat akreditasi A (Unggul), jika Sekolah/Madrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 91 sampai dengan 100 (91 < NA < 100); kedua, Peringkat akreditasi B (Baik), jika Sekolah/Madrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 81 sampai dengan 90 (81 < NA < 90); dan Ketiga, Peringkat akreditasi C (Cukup Baik), jika Sekolah/Madrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 71 sampai dengan 80 (71 < NA < 80).

Sedangkan Sekolah/madrasah yang tidak terakreditasi adalah yang mendapat nilai akhir, yaitu: Pertama, 61 sampai dengan 70 (61 < NA < 70) dengan peringkat akreditasi D (Kurang); dan Kedua, 0 sampai dengan 60 (0 < NA < 60) dengan peringkat akreditasi E (Sangat Kurang).

Akreditasi seharusnya menjadi bagian dari proses untuk peningkatan mutu pendidikan. Bukan hanya sebatas label A, B, atau C saja. Akreditasi harusnya menjadi “habit” atau kebiasaan baik yang dilaksanakan oleh madrasah. Walaupun faktanya, masih ditemukan “efek samping” yang seharusnya tidak terjadi. Seperti penyiapan sarana prasana yang “terkesan” diada-adakan, penyediaan dokumen-dokumen yang ditagih dalam instrumen akreditasi yang terkesan dadakan, dan lain sebagainya. Sementara di satu sisi yang lain, pada penilaian akreditasi tahun 2017 ini, ada penekanan dalam Standar Sarana dan Prasarana yang tidak boleh kurang dari 61. Tentu hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi madrasah.

Tantangan lainnya yang menurut saya cukup berat adalah keberadaan Madrasah yang dikelola oleh masyarakat (Swasta) yang jumlahnya mendominasi. Madrasah Swasta, dalam operasionalisasinya sebagian besar mengandalkan dari dana BOS, faktanya memiliki lebih banyak keterbatasan, khususnya dalam pemenuhan Standar Nasional Pendidikan. Banyak Madrasah, terutama di daerah pedesaan, masih belum mencukupi standar sarana dan prasarananya. Sementara ketika berbicara akreditasi, posisinya sama selama dalam wilayah hukum NKRI.

Diperlukan pemahaman yang benar dalam hal ini. Sebab jika tidak, akan memunculkan perdebatan. Akreditasi adalah ikhtiar madrasah dalam mewujudkan madrasah hebat bermartabat. Sudah saatnya, para stakeholder madrasah memiliki mind set yang benar mengelola madrasah. Mendirikan madrasah tidak cukup hanya dengan Semangat, namun juga harus memerhatikan aspek mutu. Pihak Yayasan yang menaungi satuan pendidikan seyogyanya memahami tentang regulasi mengenai akreditasi dan tuntutan memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Kepada pihak terkait, tentu seharusnya memerhatikan aspek-aspek dan persyaratan dalam pendirian madrasah sesuai dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 1385 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pendirian Madrasah yang dselenggarakan oleh Masyarakat.

Kita tidak berharap, niat baik dengan dikeluarkannya Izin Operasional Madrasah tidak dibarengi dengan pemenuhan persyaratan yang seharusnya dipatuhi oleh pihak masyarakat (yayasan) dan juga instansi terkait. Hal ini akan berakibat terhadap pengelolaan madrasah yang apa adanya, atau hanya memenuhi standar minimal saja.

Sementara kita berharap, Madrasah yang lahir dari rahim masyarakat (Yayasan) bisa melebihi Standar Nasional Pendidikan yang minimal. Dan alhamdulillah, saat ini telah lahir di berbagai kota/Kabupaten di Jawa Barat  profil Madrasah Swasta yang jika dilihat dari aspek pemenuhan SNP, telah masuk kategori Unggul. Apalagi diperlihatkan dengan Siswa yang berprestasi pada kegiatan Aksioma dan Kompetisi Sains Madrasah (KSM) di tingkat Provinsi Jawa Barat dalam dua tahun terakhir, justru didominasi oleh Madrasah Swasta. Termasuk juga siswa yang lulus melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan TInggi Negeri), PMDK-PN (Penelusuruan Minat dan Kemampuan-Politeknik Negeri), SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), UMPN (Ujian Masuk Politeknik Negeri), dan Seleksi Mandiri PTN. Tentu hal ini menjadi catatan tersendiri bagi pihak Kementerian Agama tentang bagaimana Madrasah Negeri atau Satker selama ini dalam pemenuhan Standar Nasional Pendidikan.

Harapan
Akreditasi adalah sebuah keniscayaan. Jika ada konsekwensi administrasi pada madrasah yang tidak siap atau tidak mau diakreditasi, hal tersebut lebih pada persoalan tuntutan kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Kita sangat berharap, madrasah akan semakin berbenah dan mempersiapkan diri dengan menjadikan akreditasi sebagai standar mutu dalam mengelola madrasah. Melalui akreditasi, diharapkan madrasah makin bermutu dan makin terbuka peluang untuk lebih menunjukan peran dan fungsinya kepada masyarakat sehingga pada akhirnya menjadi pilihan pertama dan utama.

Diharapkan, melalui akreditasi diperoleh gambaran umum dan detail tentang kinerja madrasah, baik aspek kelebihan maupun aspek kekurangannya sehingga dapat dijadikan sebagai alat pembinaan, pengembangan dan peningkatan sekolah baik dari segi mutu, efektivitas, efisiensi, produktivitas dan inovasinya.. Akreditasi juga diharapkan memberikan jaminan kepada publik bahwa madrasah tersebut telah diakreditasi dan menyediakan layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional pendidikan dan memberikan layanan kepada publik bahwa siswa mendapatkan pelayanan yang baik dan sesuai dengan persyaratan standar nasional. Selain itu, akreditasi pada madrasah juga diharapkan dapat menentukan tingkat kelayakan madrasah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang bermutu menuju madrasah hebat bermartabat.

Aamiin.

Sukabumi, 02 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...