Selasa, 29 Juni 2010

TRADISI KEILMUAN, KULTUR MAHASISWA DAN UPAYA MENUMBUHKAN ACHIEVEMENT MOTIVATION DI KALANGAN MAHASISWA

Oleh: Mulyawan S. Nugraha

Pendahuluan
Masa depan merupakan sesuatu yang probabilistik, dalam arti berbagai kemungkinan, baik yang dapat diantisipasi dan diketahui sebab akibatnya maupun yang tidak. Dalam hubungannya dengan nasib seseorang, berarti kemungkinan sukses atau gagal dalam menempuh cita-cita, bahagia atau menderita, kaya atau miskin dan berbagai kemungkinan lainnya. Adanya berbagai kemungkinan / alternatif, di satu sisi memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan berusaha mencapai apa yang diinginkan . Namun demikian, pada sisi yang lain juga memaksa untuk menerima apa adanya atas kenyataan hidup, baik yang direncanakan maupun yang diluar perencanaan.

Belajar merupakan hak setiap orang. Akan tetapi, kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu privilege karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tersebut. Privilege yang melekat pada mereka yang belajar di suatu per¬guruan tinggi tidak hanya terletak pada sarana fisik dan sumberdaya manusia yang disediakan tetapi juga pada pengakuan secara formal bahwa seseorang telah menjalani kegiatan belajar dan pelatihan tertentu. Dengan pengakuan tersebut, harapannya adalah bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, kete¬rampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat adalah bahwa belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan yang sengaja dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual tertentu. Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik untuk mencapai tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang belajar di perguruan tinggi.

Menjadi mahasiswa merupakan pilihan. Begitupun tidak menjadi mahasiswa, juga merupakan pilihan. Menjadi dan tidak menjadi mahasiswa adalah pilihan bebas kita selaku manusia. Namun yang pasti bahwa apapun pilihannya, tetap bahwa pilihannya tersebut merupakan pilihan yang menentukan masa depannya dan akan dipertanggungjawabkan suatu hari. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa ia sedang mempergunakan hak bebasnya yang masing-masing memiliki risiko. Baik yang memilih meneruskan atau tidak, keduanya berharap agar masa depannya lebih baik. Namun demikian, pada saat seseorang menetukan pilihannya, sejak saat itulah dan seterusnya ia dituntut untuk konsisten (istiqomah) atas pilihannya tersebut.

Pergeseran Paradigma
Memasuki abad 21 atau millennium ketiga telah terjadi pergeseran paradigma atau cara berfikir dalam menghadapi berbagai fenomena. Menurut laporan UNESCO (1996) ada tujuh ketegangan yang dihadapi di awal abad 21 ini yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada dunia pendidikan. Ketujuh ketegangan ini adalah:

1. Ketegangan antara global dan lokal, yaitu di satu pihak terdapat kecenderungan manusia akan menjadi satu warga dunia secara global, akan tetapi tidak ingin tercabut akarnya dari budaya local.
2. Ketegangan antara universal dengan individual
3. Ketegangan antara tradisional dengan modernitas
4. Ketegangan antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek
5. Ketegangan antara kebutuhan antara kompetisi dan kepedulian pada keseimbangan kesempatan
6. Ketegangan antara extraordinary expansion of knowledge dan human being’s capacity to assimilate it
7. Ketegangan antara spiritual dengan material

Selanjutnya dikatakan bahwa dengan tren perkembangan global yang didukung dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara global terjadi pergeseran pola-pola kehidupan global yang ditandai dengan perkembangan:

1. Dari komunitas lokal ke masyarakat dunia.
2. Dari kohesi sosial ke partisipasi demokratis
3. Dari pertumbuhan ekonomi ke pertumbuhan sumber daya manusia.

Kondisi ini sudah tentu akan mempengaruhi pola-pola kegiatan pendidikan termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan di Perguruan Tinggi.

Proses pembelajaran dalam pendidikan di era abad 21, menuntut satu strategi tertentu yang berbeda dengan di masa lalu. Dengan perkembangan global yang terjadi menjelang masuknya abad 21, proses pembelajaran bukan hanya dalam bentuk pemrosesan informasi, akan tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan yang berkembang. Laporan kepada UNESCO (1996) oleh Commission on education for the twenty-first century memandang bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai suatu bangunan yang ditopang oleh empat pilar, yaitu:

1. Learning to know, yang juga berarti learning how to learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya.
2. Learning to do, yaitu belajar yntuk memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan situasi dan tim kerja yang berbeda-beda
3. Learning to live together, yaitu belajar untuk mampu mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, saling memahami dan perdamaian inter dan antarbangsa.
4. Learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki timbangan dan tanggung jawab pribadi. Termasuk di dalam ‘learning to be’ ini adalah belajar untuk menyadari dan mewujudkan diri sebagai warga negara dan hamba Allah SWT dengan segala konsekwensi dan tanggung jawabnya.

Cita Tanggung Jawab dan Tugas Mahasiswa
Sealur dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (yaitu Pendidikan, penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat), maka mahasiswa juga selayaknya melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya merujuk pada tiga dharma tersebut.

Dalam hal pendidikan, maka mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan fungsi seorang intelektual yang berada dalam koridor akademis. Sebagai seorang mahasiswa, ia dituntut untuk dapat mengkaji, mendalami dan mengembangkan disiplin ilmu yang telah dipilih, sehingga dapat menjadi seorang lulusan perguruan tinggi yang ahli di bidangnya. Maka ia harus memiliki konsistensi dalam pengembangan disiplin ilmunya dengan melakukan tradisi keilmuan.

Bila kita cermati, kita tengah dihadapkan pada situasi yang sulit sekaligus menyulitkan dalam membahas pendidikan. Pertama, pendidikan disinyalir gagal dalam menghasilkan SDM yang berkualitas terutama di daerah. Secara Nasional, pada tahun 1998, berdasarkan Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan UNDP, Indonesia berada pada urutan ke-109 -- jauh di bawah negara-negara tetangga lainnya. Malaysia berada pada urutan ke-61. Thailand 76, Filipina 77 dan Singapura 74. Keadaan ini jelas menunjukan posisi Indonesia sangat terpuruk di mata masyarakat internasional. Kedua, sejak beberapa tahun terakhir ini, Indonesia menghadapi ancaman disintegrasi yang cukup parah. Pertentangan etnis, suku dan agama telah terjadi secara terbuka di Maluku, Maluku Utara, Sambas, Poso dan beberapa daerah lainnya. Dalam hal ini, pendidikan kita telah gagal dalam meletakkan pilar-pilar yang kokoh untuk menyangga persatuan nasional yang sangat plural. Ketiga, berbagai studi menunjukan bahwa kualitas proses dan hasil pendidikan (dasar, menengah dan tinggi) belum merata di berbagai daerah. Mutu pendidikan yang diukur lewat out-put (lulusan) perguruan tinggi misalnya, dapat dilihat dari jumlah penganggur intelek yang semakin bertambah seiring dengan tiap tahun diselenggarakan wisuda. Keempat, studi Internasional yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultacy (1999) yang bepusat di Hong Kong, melaporkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas sebagai negara paling korup di Asia. Indonesia dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,00 untuk kroniisme. Keadaan tersebut mengungguli India dengan skor 9,17 dan 8,11, China dengan skor 9,0 dan 7,88 dan Vietnam dengan skor 8,5 dan 7,55. Yang paling bersih adalah Singapura dengan skor 1,55 dan 2,75, kemudian disusul oleh Hong Kong dengan skor 4,06 dan 3,68 serta Jepang 4,25 dan 4,0.
Dari paparan di atas, apa hubungannya dengan tema diskusi kita ini ? Jelasnya bahwa anda—selaku calon mahasiswa, seyogyanya berfikir jernih bahwa tugas dan tanggung jawab menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Dengan tidak bermaksud menggurui, bahwasanya hadirnya anda nanti, di tengah-tengah masyarakat akan ditentukan oleh proses yang anda lakukan selama anda berkuliah di perguruan tinggi. Maka konsekwensi logis dari semua itu mengimplikasikan suatu peran yang sinergis antara posisi anda sebagai muslim dan mahasiswa Islam (sebab anda berada di wilayah Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi).

Sebagai mahasiswa yang notabene adalah warga akademika (civitas academica) atau masyarakat ilmiah, maka tuntutan akademik menjadi kewajiban pertama dan utama selama kuliah. Hal ini mengharuskan mahasiswa mentradisikan budaya akademik. Dilihat dari katanya, akademik menyiratkan suatu proses intelektual dan keilmuan. Mahasiswa dituntut untuk berbudaya akademik; berfikir, bersikap dan berwatak akademik. Membiasakan membaca buku atau jurnal ilmiah, menulis, berdiskusi, aktif mengikuti event-event ilmiah seperti seminar, studium generale dan sebagainya, selayaknya menjadi tradisi yang senantiasa dibudayakan di kalangan mahasiswa.

Tri Dharma kedua yaitu penelitian. Hasil dari unsur pendidikan yang tercermin dalam budaya akademik di atas dijabarkan dalam bentuk etos dan semangat mau melakukan penelitian. Peneltian, bagi mahasiswa adalah ajang melatih intelektual, daya kritis dan kemampuan akademik yang komprehensif. Peran ilmu pengetahuan akan ”hidup“ bila ilmuwan senantiasa membudayakan penelitian. Salah satu contoh konkret adalah bahwa setiap setiap mahasiswa akan dihadapkan pada situasi mendapatkan tugas menyusun makalah ilmiah dari dosen untuk tiap mata kuliah. Secara tidak langsung, menyusun makalah ilmiah merupakan upaya untuk membiasakan mahasiswa mau meneliti suatu permasalahan dengan menuangkannya secara logis, empiris dan obyektif sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan diuraikan secara sistematis. Bila mahasiswa tidak dibiasakan membaca buku atau jurnal ilmiah, mana mungkin punya etos kerja ilmiah dan mau membuat makalah. ?

Pengabdian masyarakat merupakan bangunan yang penting sekaligus strategis dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Keberadaan anda sebagai mantan mahasiswa nanti (setelah selesai studi di PT) akan dibuktikan dengan peranan anda di lingkungan masyarakat. Hal ini menyiratkan bahwa anda seyogyanya mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut dengan bekal yang anda dapatkan selama kuliah. Jadikanlah kampus sebagai miniatur masyarakat atau laboratorium sosial.

Mahasiswa bukan seorang pemburu ijazah an sich atau istilah lain mahasiswa silabus. Ia dituntut untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, selain kuliah rutin secara formal. Apapun program studi yang anda pilih di kampus tercinta ini, anda dididik untuk menjadi guru yang profesional di bidangnya. Di samping anda menjadi pelajar dengan status mahasiswa di STAI Sukabumi sebagai kampus pertama anda, untuk memenuhi tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi seperti dipaparkan di atas, maka dapat dipastikan adanya sebuah kecenderungan bahwa tidak semua yang anda butuhkan sebagai mahasiswa dan muslim tersedia di kampus. Waktu dan materi kuliah yang terbatas, mengharuskan anda untuk mengisi waktu luang yang dimiliki dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat. Organisasi kemahasiswaan menjadi wadah yang hukumnya relatif ”wajib“ anda terjuni selama anda kuliah. Baik intrainstituter (senat, jurusan) atau ekstra kampus (seperti HMI, KAMMI, ataupun organisasi intelektual, gerakan, seni maupun olah raga dan hobi). Organisasi tersebut diharapkan mampu melatih anda untuk hidup berkelompok, menambah teman dan pengalaman, menyalurkan minat dan kemampuan anda dalam aspek kepemimpinan, intelektual, gerakan, seni maupun olah raga dan hobi, melatih kemampuan akademis dan kompetensi personal, melatih kita agar dapat membagi waktu antara kuliah dan aktivitas organisasi, mendapatkan pengetahuan (baik teoritis maupun teknis) dan lain-lain. Semua itu, menurut hemat dan pengalaman penulis, cenderung memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk karakter mahasiswa dalam menjalani dan memahami konsep dan realitas hidup ketika menjadi mahasiswa dan setelah tidak menjadi mahasiswa.

Mahasiswa di tengah-tengah Kultur dan Fakta
Menjadi mahasiswa, merupakan merupakan saat-saat yang paling indah dan sekaligus saat yang paling menentukan masa depan. Dalam menyikapi posisi demikian terdapat berbagai gaya dan kultur yang muncul di kalangan mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang adult educated atau terdidik dewasa, tidak sedikit bahkan relatif sebagian besar di antaranya yang tidak dewasa atau tidak segera dewasa secara akademik. Dalam hal kuliah, tradisi keilmuan atau kultur akdemik relatif kurang dijalani dengan baik dan serius. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi berikut; relatif lebih sedikit mahasiswa yang melakukan kajian ilmiah dengan membentuk forum diskusi, rajin pergi ke perpustakaan untuk meminjam dan membaca buku serta menulis dibanding dengan kecenderungan mahasiswa yang senang pergi ke mall, nongkrong di kafe, sibuk mencari (atau menambah) pasangan, merasa tidak gaul bila tidak memiliki aksesoris (?), malas membuat catatan kuliah (dan akan sibuk memfotokopi catatan temannya yang rajin menulis catatan kuliah saat akan UTS dan UAS), mengisi waktu kosong dengan ngerumpi dan ngobrol di waktu luang dan lain sebagainya.

Kecenderungan demikian antara lain disebabkan oleh motivasi melanjutkan studi yang dikhawatirkan hanya atas dorongan menaikkan status kelas saja, hanya berharap mendapatkan selembar ijazah dan transkrip nilai. Ironisnya, mahasiswa yang berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah ke bawah dan biaya kuliahnya hanya (mungkin) dipenuhi orang tuanya dengan susah payah, justru tidak belajar/kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga menjadi mahasiswa kelas bawah (secara intelektual/keilmuan dan buramnya gambaran masa depan) serta mengecewakan jerih payah orang tua.

Gambaran mahasiswa demikian, bukan saja tidak berperan dan bertanggung jawab, akan tetapi lebih sebagai orang yang tidak istiqomah terhadap pilihannya (menjadi mahasiswa). Selanjutnya, muncul kecenderungan penurunan tingkat kualitas lulusan perguruan tinggi. Secara kuantitas, lulusan perguruan tinggi bertambah, sementara secara kualitas menurun drastis.

Organisasi : Wadah Upaya menumbuhkan Achievement Motivation di kalangan Mahasiswa
Mahasiswa merupakan manusia biasa. Sebagai manusia yang meniscayakan adanya perubahan ke arah yang positif, aktif dan bermanfaat, manusia diharuskan memenuhi kebutuhannya. Organisasi adalah salah satu wadah penting tempat mahasiswa menempa kedewasaan berfikir secara keilmuan, kematangan sikap dan kemandirian hidup.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievment) merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia. Sebagai suatu makhluk yang memiliki kepribadian, manusia tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sebagai makluk individu dan sosial. Dalam hubungannnya sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kecenderungan berorganisasi (political interested). Asumsi ontologis ini kalau kita tangkap maknanya menyiratkan bahwa manusia itu tidak bisa sendirian dalam hidupnya.

Secara sosiologis, fakta memperlihatkan bahwa manusia senantiasa berkumpul (zoon politicon) dalam sebuah wadah yang mereka ciptakan sendiri. Dalam pengertian yang paling sederhana, wadah inilah yng dinamakan organisasi. Manusia kuno melakukan aktivitas organisasinya dengan praktik-praktik yang sederhana. Ikatan mereka sering disandarkan pada ikatan mistis ‘ketua suku’ yang menjadi ketua mereka. Ketua suku bahkan sering menjadi “tuhan” yang dapat menjatuhkan atau menghalangi suatu hukuman dengan hanya mengangkat tangan. Sungguh luar biasa.

Perkembangan manusia memang luar biasa. Penggunaan bahasa sebagai simbol komunikasi berkembang. Dari bahasa tubuh-bahkan ada yang dengan cara saling meludahi- sampai kepada bahasa modern yang kompleks dan berlaku universal.

Seperti dikatakan Comte perkembangan ilmu pengetahuan manusia memang berubah, mulai dari tahap mistis sampai pada tahap positivistik. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka perkembangan wadah atau organisasi pun semakin berkembang. Organisasi merupakan perkembangan logis dari hakikat ontologis manusia sebagai makhluk sosial dalam upaya realisasi diri (self realization).

Dalam mempraktikkan perilaku sosialnya, manusia selalu menginginkan aktualisasi yang lebih real dalam masyarakatnya. Ada dilema dalam hal ini Pertama, sebagai individu manusia itu unik secara hakiki dan senantiasa ingin menjaga keunikannya sehingga dia tidak kehilangan pribadinya (Personality) dihadapan orang lain. Kedua,sebagai makhluk sosial manusia juga memiliki kecenderungan mengakui dan ingin diakui oleh orang lain serta dituntut mengakui nilai atau norma yang berlaku yang terkadang berbeda dengan keunikan dirinya. Disinilah manusia harus memiliki “dinamika perimbangan” (balance).

Masalah dari keseimbangan (balance) dalam “ego-alter relationship” adalah bagaimana kita bisa mencapai suatu perkembangan maksimum dari ego dengan “a minimum of damage” (tidak terlampau merugikan orang lain). Kebutuhan akan prestasi dan realisasi diri berarti aktualisasi cita-cita dan tujuan tertentu. Cita-cita ini nyata (real) dalam arti muncul dari sejarah seseorang, muncul dari “the self” yang Fromm katakan sebagai “conscience” (kesadaran/aku). Suatu sita-cita yang supernalistik tanpa mempertimbangkan kemampuan bisa menimbulkan putus asa dan neurosis. Oleh karena itu suatu realisasi diri yang baik harus merupakan konsep yang realistis, yang memberikan kepada kita, bantuan ( rapport), keutuhan (wholeness), kernel (inti), dan kekukuhan pribadi (self consistency).

Seseorang yang ingin berprestasi harus mempunyai karakter produktif. Seorang yang berkarakter produktif dapat mengaktualisasikan potensinya tanpa benturan fungsi-fungsi dalam dirinya dengan orang lain. Produktivitas membuat hidup ini lebih gembira dan bergairah, bebas dan sehat secara mental. Hal ini menuntut keterampilan pengorganisasian atas fungsi-fungsi. Produktifitas dapat dirintangi oleh mekanisme individual yang oleh Freud disebut “mechanically operating respective compulsion”. Hal ini dapat menimbulkan neurosis dan “splitting force personality”.

Seseorang yang memiliki keterampilan sosial mampu mengenal dan menyadari motifnya terhadap orang lain. Hal ini berarti mempererat hubungan dengan orang lain, pengertian, dan pemahaman kepada orang lain. Rapport (hubungan baik/erat) tidak berarti komunikasi lisan semata-mata, sebab sering kita harus berdiam diri dan mempersilahkan orang lain. Hal ini memungkinkan kita mengetahui dan menemukan “the deeper foundations” (fondasi yang paling dalam) dari kepribadian manusia.

Untuk menjadi seorang yang matang dalam berorganisasi dalam perkembangannya manusia harus memiliki “affective - emotional” yang mencakup :
1. A Persistent Emotional Tone
A Persistent Emotional Tone (emosi yang sehat), ialah keadaan yang senantiasa memancarkan rasa aman, percaya pada diri sendiri, yang membantu individu apabila ia menghadapi tekanan dan prustasi. Keadaan emosi yang sehat ini juga mencakup “home Static” atau dinamika perimbangan. Misalnya keseimbangan antara kebutuhan (needs), dan kemampuan (ability) di suatu pihak dan tekanan lingkungan dipihak lain.
2, The Emotional Attitude Toward People
The Emotional Attitude Toward People (sikap emosional yang sehat kepada orang lain) merupakan suatu rasa kemasyarakatan, hasrat untuk diterima dan diakui oleh orang lain.
3. The Capacity to Give and Receive Love
Dengan “love” dimaksudkan sebagai pemberian dan penerimaan kasih sayang yang menyegarkan, bukan jenis inta asmara yang romantis, bukan juga kasih sayang yang berlebihan dari seorang ibu, bukan kasih sayang yang berdasarkan kecemasan dan ketakutan akan kehilangan kasih yang dicintai, juga bukan kasih sayang yang fantastik, bukan pula pencurahan cinta sebagai penyerahan kepada seseorang yang sebenarnya tidak mencintai si pemberinya. Ini adalah jenis cinta (love) yang yang memelihara kita sebagaimana yang kita berikan, mempercayai kita sebagaimana yang kita berikan, dan membantu perkembangan ego-alter kita secara harmonis.


4. Ability for Rilex and Happy
Kepribadian yang matang memilki rasa humor yang baik. Dapat tertawa jika menjumpai hal yang jenaka. Ia peka tanpa cemas. Tidak kaku dan berlebihan dalam reaksinya. Dapat memperlihatkan permusuhan dan marah secara wajar.
5. Sikap Emosional terhadap Diri
Harus ada keseimbangan antara cita-cita seseorang dengan penampilan aktualnya (lakukan yang terbaik), mampu menerima keterbatasannya, mampu menghadapi masalah hidup secara rasional tanpa egoistik, dan tidak suka melemparkan kesalahan kepada orang lain.

Dalam perspektif Islam, manusia mempunyai dua fungsi dan posisi. Pertama, sebagai Abd (hamba) Allah (QS.51:56) dan sebagai khalifah fi al Ard (QS.2:30-31). Dalam posisinya sebagai Abd manusia diharuskan melakukan semua perbuatannya berdasarkan motivasi mencari keridlaan Allah. Karakter abd ini lebih cenderung kepada posisi dan fungsi manusia sebagai individu. Sebagai individu manusia memiliki kemampuan-kemampuan dan potensi. Potensi manusia ini laksana sebuah lautan yang dalam yang penuh dengan mutiara dan ikan beraneka rupa. Lewat upaya pendidikan manusia dapat mengaktualisasikan potensi-potensi itu.

Potensi manusia yang pertama adalah al Aql. Allah SWT sangat menghargai akal ini. Ungkapan sepert afala ta’qilun, afala tadzakkarun, afala tafakkarun, ulul albab. Dalam al Quran terminologi akal senantiasa berhubungan dengan kata kerja dan tidak satupun diungkapkan dalam bentuk kata benda. Hal ini menegaskan bahwa akal itu titik tekannya kepada fungsi. Jadi buat apa punya akal (otak) tetapi tidak berfungsi.

Potensi yang kedua dari manusia adalah al nafs. Dalam al Quran nafs sering diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person) diri (self) , hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind). Quraish Shihab mengartikan nafs sebagai totalitas manusia (QS. 5:32) dan nafs itu adalah daya yang ada pada manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS. 13:11). Nafs manusia selalu mengarah kepada yang baik dan buruk.

Potensi selanjutnya pada diri manusia adalah al Qalb. Kata al qalb dipergunakan dalam al Quran sebanyak 123 kali. Qalb terambil dari akar kata yang berarti membalik karena sering kali ia berbolak balik. Potensi selanjutnya adalah jasad. Dengan jasadnya manusia di sebut al ahsan al taqwin. Sisi lain manusia menurut Islam dapat berbalik 360 derajat menjadi kal an ‘am balhum adhal.

Watak sosiologis manusia lebih tepat jika dihubungkan dengan posisi manusia sebagai khalifah. Sebagai khalifah manusia diberi amanah untuk mengurus dan mengatur alam ini. Sesuai dengan arti kata khalifah, ia berarti wakil atau pengganti, yakni pengganti Tuhan dalam memakmurkan alam ini.Posisi manusia ini tidak sejajar bahkan dilebihkan oleh Tuhan dari sesama makhluk Tuhan. Terbukti dari keengganan makhluk Tuhan yang lain ketika dia diberi amanah. Hal ini jangan menjadikan manusia arogan.

Berdasarkan watak sosial inilah manusia mengatur dan mengorganisasikan dirinya dalam berbagai formula dan wadah. Ada satu hal yang secara alami diakui bahwa semua itu dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan bagi umat Islam itu adalah perwujudan dari hakikat dirinya sebagai makhluk sosial.

Sebenarnya apalah arti sebuah wadah atau organisasi jika didalamnya tidak mengakomodir dan mencoba memenuhi keinginan dan tujuan bersama. Tujuan bersama dalam sebuah organisasi adalah hal penting. Yang lebih penting lagi adalah mengusahakan terwujudnya tujuan itu. Hal memerlukan sebuah mengorganisasian yang efektif dan komitmen bersama. Sebuah organisasi akan menjadi kuat dan berkembang jika komponen-komponen organisasi yang berada didalamnya bekerja secara sinergis. Jangan saling menyalahkan dalam berorganisasi. Melempar tanggungjawab juga sebuah kekeliruan. Dalam managemen modern ada istilah the right man on the right job, the right man on the right place.

Berorganisasi merupakan sebuah aktivitas manusia yang berdimensi sosiologis. Organisasi lahir karena kebutuhan manusia.Dari organisasi yang paling sederhana sampai kepada organisasi yang paling besar misalnya negara harus didukung oleh sebuah kekuatan managerial yang mencerahkan. Seorang leaders dalam suatu organisasi sangat penting posisinya. Pemimpin memiliki urutan terpuncak dari sebuah organisasi. Ia mewakili anggotanya untuk keluar dan kedalam. Pemimpin harus bertanggungjawab secara penuh dalam melaksanakan kepemimpinannya.

Seorang pemimpin harus mempunyai watak dan karakteristik ideal. Dalam Islam tipe yang sangat tepat untuk dijadikan pemimpin adalah Nabi Muhammad. Kepemimpinan Muhammad memang luar biasa. Dia mampu mengadakan revolusi sosial secara radikal. Ia mampu mengganti pola lama dengan pola baru. Karakteristik kepemimpinan Muhammad senantiasa berangkat dari keyakinan transendental kepada Tuhan.

Akhlak Muhammad sebagai seorang pemimpin sangat luar biasa. Ia begitu dekat dengan para sahabatnya. Ia sering tertawa, tidur, berdiskusi,dengan para sahabatnya. Ia begitu dekat dengan sahabatnya. Suatu kisah menceritakan bahwa nabi Muhammad bersama para sahabatnya sedang mengelilingi kambing guling bakar bersama sahabatnya. Sambil bercengkrama dan bersenda gurau mereka memakan bersama kambing guling itu. Ada suatu suasana keakraban yang tercipta. Antara rasul sebagai seorang pemimpin dengan sahabatnya begitu dekat, begitu bersahabat. Persahabatan ini dibingkai oleh aturan Allah dan muncul dari kesadaran nurani yang paling dalam untuk saling menghormati dan menghargai. Tidak ada dusta diantara mereka. Alangkah mengagumkan!

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa rasulullah meskipun beliau seorang pemimpin tetapi memakai pakaian yang sama dengan para sahabatnya (yang dipimpinnya). Sehingga ketika ada orang yang hendak membunuh Muhammad ia bingung karena mencari Muhammad.Hal ini berbeda dengan tradisi raja-raja Romawi atau Persia.

Memberikan motivasi kepada diri memang suatu hal yang serius dan signifikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa semakin sering orang memotivasi dirinya maka ia akan semakin ingat akan keberhasilan. Motivasi dalam suatu sisi tidak lebih daripada sugesti. Seperti doa ia senantiasa menghiasa relung kalbu seorang hamba untuk mencapai tujuannya.

Hidup berprestasi adalah tujuan setiap orang,termasuk dalam berorganisasi. Aktivitas organisasi senantiasa mengarah kepada the ultimate goal yaitu mencapai prestasi.Prestasi itu diukir oleh sinergitas komponen organisasi yang efektif dan harmonis. Prestasi bisa terwujud jika hal itu dilakukan.

Islam memberikan prinsip dan prototipe ideal seorang pemimpin. Muhammad sang ‘Pembaru’ adalah tipe pemimpin ideal. Ia senantiasa beraktivitas dalam rangka mardatillah. Kepemimpinannya senantiasa diabdikan kepada kepentingan kemanusiaan dan ketuhanan. Ia tipe pemimpin yang mementingkan jasmani dan rohani. Ia telah mencapai kematangan berorganisasi. Muhammad sang ‘pembebas’ sekali lagi adalah tipe ideal seorang pemimpin.

Tantangan Tanggung Jawab Mahasiswa Islam
Di usia yang relatif masih muda dan potensial untuk melakukan hal-hal yang yang lebih elegant dan bermanfaat, sangatlah disayangkan bila kecenderungan negatif di atas lebih menguasai mahasiswa.

Adapun tantangan tanggung jawab mahasiswa Islam, minimal dua persoalan, yaitu: pertama, menjadi mahasiswa belum secara otomatis sebagai jaminan (guarantee) masa depan anda menjadi lebih baik. Sementara itu, penghasilan orang tua mahasiswa, terutama yang berprofesi di jalur informal, semakin sulit berkembang ditambah dengan situasi negara yang tidak menentu secara politik ekonomi. Karena itu, sesungguhnya keputusan anda dengan pilihan melanjutkan ke perguruan tinggi tidak hanya penuh dengan resiko, tetapi juga perlu konsistensi (istiqomah) perjuangan (jihad) dan ketabahan (sabar). Selanjutnya, ketika seorang mahasiswa lulus dan menyelesaikan studi di perguruan tinggi, muncul persoalan lain antara lain sulitnya mencari pekerjaan.

Kedua, untuk bisa menempati posisi terhormat sebagai lulusan perguruan tinggi, Anda dituntut tidak hanya menguasai teknis keahlian bidang tertentu. Tuntutan lainnya ialah pembentukan watak keprofesionalan, seperti dapat dipercaya (amanah), jujur, mandiri dan disiplin. Dalam hubungannya dengan sains dan teknologi serta standarisasi kualitas sumber daya manusia saat ini, maka mau tidak mau, suka atau tidak, mahasiswa harus mem-‘fardu-‘ain‘-kan dirinya untuk memacu mengembangkan kualitas ilmu dan kepribadiannya sehingga menjadi lulusan perguruan tinggi yang dapat diandalkan. Tantangan globalisasi dengan ditandai dengan pesatnya sains dan teknologi, sewajarnya ditanggapi dengan serius. Penggunaan komputer dan Internet sepertinya satu hal yang tidak dapat dihindari sebagai alat untuk mengolah data serta memperoleh informasi. Hal tersebut mengindikasikan keharusan mahasiswa Islam untuk dapat mengusainya. Jangan sampai kejadian ada mahasiswa Islam yang Gaptek (gagap teknologi) ! Kemampuan teknis lainnya yang harus dikuasai mahasiswa Islam adalah penguasaan bahasa Arab , bahasa Inggris dan metodologi keilmuan. Mengutip perkataan Mullla Shadra: Canggihkan intelektualitas, tajamkan spiritualitas.

Penutup
Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan strategik dalam mencapai tujuan indivi¬dual seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat ditentu¬kan oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan yang jelas. Keselarasan tujuan akan menjadikan belajar-mengajar merupakan kegiatan yang menyenang¬kan dan mengasyikkan tanpa meninggalkan scientific vigor dan rigor perguruan tinggi.

Dosen dan kuliah bukan merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh karena itu, perlu diredefinisi pengertian kuliah sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi. Kuliah merupakan ajang untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandiri. Untuk mendukung proses belajar-mengajar yang efektif seperti itu, dosen dan mahasiswa harus mengacu dan memegang buku yang sama. Pengendalian proses belajar harus dipandang lebih penting daripada hasil atau nilai ujian. Kalau proses belajar dijalankan dengan baik, nilai merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Kalau proses belajar tidak dikendalikan secara semestinya, nilai tidak akan mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai tersebut menambah atribut seseorang. Dengan demikian, akhirnya perguruan tinggi hanya ber¬fungsi sebagai lembaga jasa pengujian (testing service institute) bukan lembaga pedidikan.

Memiliki buku tidak sama dengan memiliki kertas bergambar huruf dan garis. Buku hendaknya diperlakukan sebagai teman atau kekasih sejati; buku harus diajak berdialog. Kemampuan berbahasa merupakan dasar yang sangat penting untuk dapat memahami penge¬tahuan yang kompleks dan konseptual. Karya ilmiah dan sastra tinggi tidak dapat begitu saja dipahami dengan hanya menggunakan bahasa alamiah. Penguasaan bahasa yang memadai (baik struktur maupun kosa kata) juga sangat membantu seseorang untuk mampu meng¬ekspresi gagasan dan perasaan atau mendeskripsi masalah secara cermat dan efektif.

Banyak jalan menuju sukses pribadi. Perguruan tinggi paling tidak memberi jalan dan kon¬tribusi yang berarti untuk menuju sukses pribadi sekaligus sukses bagi masyarakat. Perilaku mahasiswa di perguruan tinggi akan mewarnai berbagai sukses pribadi seseorang dan juga suk¬ses masyarakat dan negara.

Dalam kondisi budaya belajar yang telanjur menyimpang dari tujuan belajar yang seharus¬nya, tugas perguruan tinggi adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut. Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan citra baru tentang makna belajar melalui perubahan proses pembelajaran secara radikal. Tidak selayaknya perguruan tinggi mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. Pergu¬ruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Hall dan Cannon (1975) berikut ini perlu dire¬nungkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi:
Should a university course be devised to help a student to fit into society or to encourage a student to change society?

Jadi, fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebu¬tuhan tenaga kerja (link and match) tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian kesarjanaan !

Uraian di atas tidak bermaksud untuk membuat nyali anda ciut . Justru agar dialektika seperti ini membuat kita lebih dewasa dan bijak dalam mempertanggungjawabkan apapun pilihan Anda, tidak terkecuali pilihan untuk menjadi mahasiswa di STAI Sukabumi. Jadikanlah Kampus ini menjadi kawah candradimuka untuk mengasah, mempersiapkan bekal untuk masa depan dan menampilkan seluruh potensi yang telah anugerahkan kepada kita, manusia, agar sukses di kemudian hari.

Tantangan dan kompetisi masa depan yang makin tajam meniscayakan adanya kompetensi profesional individual yang handal dalam hal intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. Yakinkan anda mampu menghadapinya. Jadikan tantangan sebagai peluang anda untuk berbuat lebih cerdik, cantik dan strategik.

Kegagalan adalah nuansa hidup yang muncul mungkin akibat kurang gigih dalam usaha dan doa. Seperti sabda Rasulullah SAW: seorang Muslim tidak akan masuk ke lobang (dalam arti kegagalan) dua kali. Kini anda bertugas untuk meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar.

Yakin usaha sampai.
Mohon maaf bila tulisan ini kurang berkenan.
Semoga bermanfaat.
Wallaahu a‘lamu bi al-shawab
Ciaul, 07 September 2007

Tidak ada komentar:

Benar Ternyata, Menulis itu butuh Konsistensi

Bagi sebagian orang mungkin menulis bukan hal yang penting. Bahkan boleh jadi, bukan sesuatu yang harus jadi prioritas. Bagi Aku, menulis it...